KELAS BURSA, PESERTA JADI LEBIH RAMAI?

MARAKNYA KELAS LOVE BIRD BURSA

Kalau Tak Terkendali, Bakal Jadi Bumerang

Ada fenomena baru dalam lomba burung, khususnya love bird. Seperti koor atau paduan suara, hampir semua EO kompak menjadikan kelas love bird sebagai bursa, alias wajib jual dengan batasan harga maksimal tertentu.

Bila awal mula dibuka lomba khusus bursa adalah untuk “menjembatani” pemilik burung dengan calon pembali, dibukanya kelas bursa di banyak even lomba konvensional (tidak hanya melombakan love bird saja), termasuk yang besar-besar, punya tujuan lain, yaitu untuk menghalangi supaya burung-burung bagus tidak bisa turun.

Alasannya, kalau burung bagus ikut main, lomba jadi sepi. Peserta kebanyakan takut, merasa sudah pasti akan kalah, kalahnya “KO” lagi. Mereka memilih menyingkir, pindah ke lokasi lomba lain yang sekarang semakin banyak dan nyaris selalu ada, latber atau latpres sekalipun, asal punya kesempatan menang lebih besar.

 

 

JAGO MASIH ANGIN-ANGINAN TAMPILNYA, JADI GALAU TERUS? Saatnya MOVE ON... Berikan Moncer1 dari Super Kicau Grup, asupan paten para jawara.

Untuk tahap awal, bisa diberikan rutin setiap hari selama seminggu, selanjutnya mulai H-2 atau sesuai kebutuhan. Waspada barang TIRUAN.

 

Alasan ini, sepertinya mudah diterima akal kita. Beberapa even yang membursakan semua kelas love bird menjadi ramai. Persaingan dianggap lebih berimbang, meskipun tak ada burung yang benar-benar menonjol dan tampil wow.

Tak ada tontonan yang asyik. Tapi itu bukan masalah bagi EO. EO lebih mementingkan jumlah peserta, tidak penting apakah evennya menarik ditonton karena turunnya sejumlah burung fenomenal misalnya.

Dengan dasar itu, kini hampir semua EO seperti menemukan tips yang ampuh membuat kelas love bird bisa ramai: menjadikan kelas love bird sebagai kelas bursa. Maka, saat ini seperti eforia, rama-ramai membuka kelas love bird sebanyak-banyaknya, dengan embel-embel bursa.

 

 

Nah, belakangan, sejumlah pemilik burung bagus, yang jumlahnya juga semakin banyak mulai meradang. Mereka yang belakangan ini cukup berani membeli burung bagus dengan harga mahal pun mulai berpikir ulang.

“Ngapain beli burung mahal-mahal, meskipun itu bagus, kalau tidak disediakan “panggung” untuk unjuk gigi,” begitu alasannya. Singkat, tapi sangat jelas pesannya.

Lha bagaimana mau lomba, kalau burungnya katakanlah senilai 200an juta, tapi kelas bursa harga jual maksimalnya misalnya 100 juta, bahkan seringkali kurang dari itu. Terus buat apa harus beli burung sampai harga di atasnya, yang belakangan mulai berani mulai 300-500an juta?

 

ARI BEJO, OYONG ALB, PAPA MUDA, DKK

 

Curhat semacam ini mulai dikemukakan secara terbuka oleh para pemilik burung love bird yang sering juara, juga oleh mereka yang belakangan ini lagi  getol-getolnya membeli burung love bird bagus dengan harga cukup mahal.

Misalnya yang disampaikan oleh Ari Bejo dari Banjarnegara, pemilik Robot Gedek dan Gandring. Ari mengungkapkan kesedihannya secara terbuka dengan menulis status di akun face booknya. Sebab, kini semakin sulit memilih lomba sebagai panggung bagi Robot Gedek maupun Gandring.

 

MASIH PENASARAN PENGIN PUNYA LOVE BIRD KONSLET? Ini dia biangnya.

 

Alasan yang disampaikan oleh Ari pun bisa diterima akal sehat. Ari mengungkapkan, kalau beli burung yang murah dengan kualitas biasa, berarti peluang menang kecil, ikut lomba seakan hanya kondangan alias setor terus karena kalau kalah berarti uang pendaftaran menguap.

Beli mahal yang bagus, kok sekarang hampir semua lomba diberi embel-embel bursa dengan harga maksimal di bawah harga beli burungnya.  

 

POSTINGAN ARI BEJO DI FB. BANYAK DUKUNGAN

 

“Padahal merawat, nyeting, bikin burung mau tampil itu tidak gampang. Butuh ketekunan, butuh biaya, menghabiskan waktu panjang sampai betul-betul ketemu setingan yang pas. Giliran burung siap, hampir semua lomba dijadikan bursa. Harga maksimalnya ditentukan rata-rata di bawah 100 juta. Kalau begini terus, kok jadi malas merawat burung, mungkin burung buat hiasan dan kenangan saja digantung di rumah apa ya. Sedih....”

Rupanya, banyak yangg setuju dan mendukung pendapat Ari. Mereka antara lain Oyong ALB Malang, Ca Bo Pekanbaru, Indra Andong Samarinda, Mahendra Papa Muda Solo, Joko Bonita Boyolali, Sigit Kedungmulyo Klaten, dan masih banyak lainnya.

Joko Bonita dari Boyolali yang juga kerap jadi EO ikut urun rembug. “Sebagai salah satu EO, memang harus bijak dan mulai berpikir jauh ke depan, tidak jangka pendek asal sekarang bisa ramai saja. Kita harus akui yang bikin ramai kelas love bird, langsung atau tidak langsung kan sesungguhnya mereka yang sekarang punya love bird bagus, sebab mereka yang berani beli mahal. Kalau mau jujur, peserta love bird bursa bisa ramai juga karena ada keinginan biar bisa laku relatif mahal kan, setidaknya untung lah dibanding harga beli plus perawatan dan biaya-biaya lainnya.”

 

JOKO BONITA & ARIF MH KECIL BOYOLALI

 

Para pemilik burung, juga para EO, harusnya sadar, prinsip dasar kontes atau lomba itu kan untuk menyeleksi burung. Sampai ketemu burung yang materi dan perfomanya bagus, lalu berikutnya ketemu burung yang “tidak biasa” karena selain bagus materinya, juga mau tampil stabil di segala medan, segala cuaca. Pokoknya kapan saja dan di mana saja, tetap mau tampil oke dan berpeluang juara.

Setelah ketemu, burung yang tidak biasa atau “luar biasa” itu, tentu saja pantas diberi penghargaan secara luar biasa pula. Salah satunya, ada yang mau beli dengan harga fantastis. Harga love bird seperti itu saat ini, paling tidak di atas 100 juta. Transaksi terakhir untuk burung-burung love bird papan atas mulai 350 juta sampai 500 juta.

Nah, kalau burung yang sedang dalam perfoma dan puncak prestasi itu kemudian dibatasi ruang geraknya, dihalang-halangi, dikerangkeng, mau ikut lomba ditolak baik secara langsung maupun secara halus, lalu apa gunanya lomba-lomba atau proses seleksi itu digelar.

 

OYONG ALB. BERANGKAT & PULANG LOMBA, BURUNG JUGA HARUS NYAMAN

 

“Burung yang bagus kan memang tidak datang begitu saja. Sebagian besar juga memulai dari lomba skala paling kecil, dari latber, naik peringkat ke latpres, lomba lokal, regional dan seterusnya. Selama berproses itu kan sudah mengorbankan banyak hal, mulai waktu, tenaga, pikiran, dan tentu juga biaya tidak sedikit,” ujar Oyong ALB, dari Malang.

Demi menemukan stelan sampai ketemu yang paten, orang sampai rela siang malam ngurusin burung. “Bahkan, Anda yang kebetulan dikaruniai rejeki banyak, lantas beli yang dianggap sudah jadi, juga tidak berarti setelah burung dibawa pulang otomatis akan langsung mau tampil begitu saja. Tetap butuh penanganan dan perawatan agar mau tampil bagus. Nah di puncak penampilan, masa sih mau lomba kok malah dipasang banyak rambu forboden,”  imbuh Oyong.

Oyong lalu menambahkan, bagi orang sepertinya yang kini pekerjaannya memang merawat dan nyeting love bird, kalau ikut lomba dapat hadiah “uang pembinaan” kan ibarat buat ganti ongkos rawatan, stelan, yang memang menguras waktu, pikiran, dan energi, selain tentu saja untuk transport dan akomodasi lainnya.

 

 

“Coba tanya para pemilik love bird yang kerap juara, apa itu dirawat asal-asalan mau kerja bagus? Saya rasa tidak. Sepanjang pengalaman saya, burung konslet atau apa pun namanya, itu juga karena faktor rawatan, selain datang dari karakter si burung itu sendiri.”

Oyong sendiri mengaku tidak anti kelas bursa. “Ya tidak apa-apa, kita juga butuh inovasi-inovasi semaca itu, buat mantau-mantau calon jago dengan  harga yang lebih terukur. Tapi ya jangan semua. Kelas bursa itu menurut saya cocoknya untuk tiket yang tidak terlalu mahal, memang diperuntukkan buat burung-burung prospek. Katakanlah untuk harga tiket di bawah 100 ribu misalnya. Di luar itu tetap perlu dibuka kelas umum atau bebas yang jumlah sesinya lebih banyak dari kelas bursa,” imbuhnya.

 

CA BO PEKANBARU. PEMERHATI & PEMINAT LOVE BIRD

 

Sementara itu Ca Bo, salah satu pengamat dan pemerhati love brid dari Pekanbaru juga ikut nimbrung bicara.  Menurutnya, Love Bird bisa ramai seperti sekarang ya karena adanya cukup banyak orang “sinting” ya mau bayar dengan harga fantastis.

“Sekarang harga love bird sudah melampau harga murai batu terbaik, anis terbaik, cucak hijau terbaik, kacer terbaik, bahkan mungkin juga perkutut dan merpati balap terbaik. Edan kan. Nah, kalau orang-orang sinting itu tidak kita openi, lalu kapok dan beralih ke yang lain, saya berani bertaruh kelas love bird cepat atau lambat akan lesu lagi. Kalau sudah begitu, yang rugi siapa coba, ya semuanya kan. Pemain pemula juga ikut rugi, apalagi EO akan terdampak secara langsung.”

 

SAMSULHADI BERSAMA BEKTI & RUDY NSR. PRESTI LOMBA JUGA DIDUKUNG KUALITAS PESERTA

 

Ada pun Samsulhadi, ketua pelaksana even Supremasi Jogja Istimewa, saat dimintai pendapatnya mengaku sepakat dengan Ca Bo dan kawan-kawan. “Makanya besuk di Jogja Istimewa 11 Februari kita buka 10 kelas love bird itu semua bebas, tidak ada embel-embel bursa. Untuk para pemula yang belum berani turun di kelas bebas, sudah kita siapkan tiga kelas ring dan tiga kelas balibu. Kalau mau transaksi ya silakan itu urusan sendiri-sendiri, kami dari panitia tidak akan ikut campur.”

Menurut Samsul, pilihannya tentu memiliki risiko, peserta mungkin saja berkurang. “Tapi even kami sejak dulu kan memang bukan semata mengejar ramai atau jumlah peserta. Kami mengemas dan mewarkan even yang prestis, jadi ya harus bisa membanggakan bagi pesertanya. Salah satu ukuran dari kualitas dan prestise lomba kan juga dari kualitas pesertanya. Jadi kami lebih senang kalau semakin banyak burung bagus turun, apa pun jenisnya termasuk love bird. Sebab, prestise lomba juga akan ikut terangkat.”

KATA KUNCI: ari bejo oyong alb ca bo love bird konslet love bird gendewo terbang ke banjarmasin jogja istimewa kelas love bird bursa

MINGGU INI

AGENDA TERDEKAT

Developed by JogjaCamp