ILUSTRSI JURI MEMASUKKAN STICK PENILAIAN LOVE BIRD

MAIN MATA PESERTA & JURI LOVE BIRD

Sungguh-Sungguh Ada, Yuk Intip Modus dan Caranya

Pengin juara love bird, tampil bagus saja ternyata tidak (selalu) cukup. Sebagian juga mesti meng”kondisikan”nya. Tak hanya di event besar, bahkan Latpres tiket 20 ribu pun, banyak yang main pengkondisian. Mau tahu cara dan modusnya?

Malam sudah beranjak larut. Kami masih ngopi, ngeteh, juga makan beberapa camilan di sebuah warung sudut bundaran jalan yang ramai. Rekan ngobrol kami itu asyik sekali. Gaya berceritanya lincah, dilontarkan dengan penuh semangat dan nada ceria. Kami jadi sering tertawa bersama. “Maaf om, kami sudah mau tutup,” seorang pelayan pun mengingatkan agar kami segera menyingkir dari tempat nongkrong yang cukup favorit di kota tersebut.

Orang yang kami ajak ngobrol itu, pernah jadi pekatik atau perawat love bird. Biar sedikit keren, kita sebut saja mekanik atau penyeting love bird. Sering menggantang love bird, mulai tingkatan latber, hingga akhirnya ke lomba-lomba nasional. Ia juga mengaku paham burung pada umumnyua, tak hanya love bird. Sesungguhnya, awalnya kami tak sengaja mau ngomong soal penilaian love bird dengan segala dinamika di dalamnya. Tapi karena ia memang seorang pemain love bird, mau tak mau pembicaraan nyenggol ke situ juga, hingga akhirnya lebih fokus dan mengerucut membicarakan hal itu.

 

 

SNOT, penyakit yang jamak menyerang love bird, selain jenis burung lainnya. Jangan kawatir, sekarang ada SnotGo. Padukan pemakainnya dengan LEMAN'S, terbukti ampuh membasmi Snot. Hubungi nomor telepon pada baner di bawah ini, atau langsung ke Bukalapak / Tokopedia untuk mendapatkannya.

 

Begitu seringnya menggantang love bird, membuatnya banyak kenal dengan juri, panitia, juga para pemain love bird mania lainnya. “Di kota saya, gantangan love bird banyak, sehari bisa beberapa lokasi, gantangan malam setiap hari juga ada beberapa pilihan. Di kemudian hari, ada bos dari luar kota mulai percaya pada saya, buat nyarikan gaco love bird. Kalau mereka lomba, saya sering diajak, buat bantu nampilin love birdnya.”

Begitu kisah yang mengawali ia menjadi seorang pemain dan juri love bird yang berpengaruh.

Waktu itu, ia merasa sering kecewa juga. Merasa burungnya tampil baik, kok rangkingnya di bawah burung yang sepenglihatannya (jauh) di bawahnya. “Ini tidak ngomong burung yang seimbang ya. Ini beda jauh, kenapa si dia bisa dapat hasil lebih baik dari yang saya gantang, padahal secara kualitas dan penampilan punya saya lebih baik. Saya sering mencoba bertanya baik-baik ke team juri. Ada yang jawabannya mencoba menenangkan saya, ada juga yang jawabnya menjengkelkan. Yang terakhir ini yang sering bikin emosi.”

Lama-lama ia bisa paham juga dengan segala situasi yang terjadi saat lomba. “Kalau mau menang memang harus menyiapkan banyak hal, selain burung mesti bagus, juga harus ada pengkondisian.”

 

Burung sakit? sekarang tak perlu kawatir lagi. Ada SUPER-N, obat burung yang  terbukti paling banyak dipakai, selama bertahun-tahun sudah teruji mampu mengatasi berbagai masalah kesehatan burung. Pastikan Anda menggunakan produk yang ASLI, agar terjamin kualitas dan khasiatnya.

 

Semakin banyak lomba yang diikuti, baik dalam maupun luar kota, Ia menjadi semakin banyak kenal dengan juri. “Saya akhirnya memang mengenal dan dekat dengan banyak juri, dari semua EO. Tak hanya juri-juri yang satu kota dengan saya tinggal, yang luar kota pun semakin banyak yang saya kenal. Bahkan juga mulai mengenali karakternya masing-masing. Saya paham mana juri yang berpengaruh, yang kata-katanya diikuti lainnya, yang punya tipikal memimpin. Ada pula juri yang sebenarnya kurang paham burung, tapi sok berpendirian kekeh. Tentu, ada juga tipe juri yang hanya pelengkap, hanya ikut-ikut saja kalau ada yang menggiring.”

Dalam perkembangan berikutnya, ia mengaku lebih sering diajak untuk mengawal burung milik beberapa kawan yang dianggapnya sebagai bos. Tak hanya dari kota dia tinggal, juga dari luar kota. “Untuk event-event penting yang perlu pengkondisian, seringkali saya harus sowan ke rumah si juri. Juri-juri tertentu yang secara pribadi sudah dekat, cara ini memang efektif. Kalau luar kota, paling tidak saya telpon atau minimal WA lah. Kalau sama-sama menginap, ya temui di hotel, atau paling tidak pagi kita ketemu sebelum lomba. Jadi ada komunikasi sebelumnya.”

Kalau itu burung milik dia pribadi atau milik teman yang belum terlalu ngebos, dan hubungan dengan si juri sudah dekat, biasanya tidak ada tawar menawar jumlah nominal uang. “Saya hanya janji kalau ada hasil, kita bagi-bagilah hadiahnya. Tapi kalau pemiliknya sudah punya nama, memang mesti lebih jelas dan tegas lagi. Jaman sekarang malah harus titip di depan. Beberapa juri tidak mau komunikasi lewat saya atau anak buah lainnya, harus ngomong langsung dengan si bos. Mungkin kawatir kena gunting kalau lewat orang lain ya, ha ha ha.”

Ia mengaku semakin tahu bagaimana juri-juri itu bisa membuat poin burung love bird berpontensi lebih untuk menang. “Memang selalu ada syarat, burung mesti kerja dulu, paling tidak agak berimbang lah. Kalau terlalu jauh secara kerja, rata-rata memang tidak berani.”

Model-model seperti itulah yang kelak, juga ia tiru saat menjadi juri.

Sampai akhirnya, ia mulai ikut turun menjuri di gantangan-gantangan independen. “Gantangan-gantangan indepen kelas tarkam itu menganggap saya sangat tahu dan paham burung, terutama love bird. Bukan nyombong, saya memang bisa membedakan burung bagus dan yang tidak, baik itu ocehan, terutama love bird. Beberapa gantangan ada yang tanpa memberikan pembekalan, hanya briefing umum saja, langsung tugas begitu saja, dianggap sudah tahu. Tapi ada juga gantangan yang benar-benar melakukan bimbingan, semacam diklat, tapi lebih banyak praktek. Pada awalnya tidak boleh langsung menjadi juri, tapi mulai dari pendamping dulu. Saya banyak berhutang budi pada gantangan yang satu ini. Sayang sekali, gantangan ini akhirnya bubar. Sebenarnya bukan karena ditinggal peserta, masih tetap ramai sampai saat-saat akhir sebelum ditutup.”

 

 

Jaringan perkenalan dengan sesama juri semakin luas. Ia pun semakin leluasa bila harus mengkondisikan burung milik temannya, atau milik bos tertentu. Ketika sedang tidak bertugas, ia pun menurunkan burung, entah miliknya, atau punya teman yang biasa ia pinjam. “Paling enak kalau ada bos-bos baru, bos lokal, yang lagi ambisi raih juara umum. Tiket sudah aman dulu dapat gratisan. Habis itu saya dapat tugas untuk bisik-bisik ke juri. Kalau juara poinnya dobel-dobel, hadiah tetap jadi milik saya, masih ada bonus lagi dari si bos.”

Akhirnya, ia bergabung dengan salah satu EO. Cukup besar dengan sejumlah cabang yang terus bertumbuh dan cukup berpengaruh. “Di situ, saya belum masuk juri senior. Kan juga relatif baru gabungnya. Jadi banyak  teman-teman yang melihat potensi kemampuan saya, mendorong supaya gabung, biar lebih maju, jangan hanya di independen saja karena tidak ada jenjang karirnya, juga supaya lebih luas pergaulan dan pengalaman karena kalau di EO besar, tugasnya bisa jauh dan tugas di even besar-besar. Begitu pesannya. Setelah saya pikirkan dan pertimbangkan, saran itu akhirnya saya terima. Singkat cerita, saya akhirnya ikut diklat, dinyatakan lulus, dan resmi menjadi juri di EO tersebut. Namun kalau sedang tidak tugas, kegiatan sehari-hari tetap biasa, menggantang burung, atau mengawal burung milik bos.”

Suatu saat, tibalah ia mendapat tugas di event kolosal nasional. Lombanya cukup jauh dari tempat ia tinggal. Selain tugas, salah satu bosnya juga turun. Ia pun dapat tugas buat “ngawal”, yang dari situ ia punya kesempatan mandapatkan “sangu” lebih kalau kawalannya bisa menang.

“Biar tidak terlalu nyolok, saya tidak berangkat dan pulang bareng rombongan bos. Kebetulan juri dari kota-kota di sekitar saya tinggal juga bertugas. Saya gabung ikut rombongan juri. Biasalah urunan untuk beli BBM dan makan selama perjalanan.”

Oh ya, burung si bos bagus kualitas materinya, sering juara di event-event besar, bahkan sering borong juara. Hatrik atau nyeri, sudah biasa, termasuk di event besar. Jadi sudah cukup terkenal dan disegani di mana-mana. Hingga sore hari, mungkin sudah turun 3 kali, prestasi terbaiknya baru juara 2. Si bos tidak turun langsung. “Teman saya yang dipercaya gantang pun ngomelin ke saya karena merasa sebelumnya mestinya layak juara 1, tapi hanya kebagian juara 2 sampai 4. Lha bagaimana, pas sesi itu saya pas belum dapat kesempatan tugas.”

Menjelang hari gelap, datanglah kesempatan itu. Kelasnya cukup prestise, tiketnya lumayan mahal, sehingga hadiahnya pun gede. Sebelum juri keluar, dari pintu pedok ia mengintip, di gantangan mana si burung digantang. “Saat saya sampai di blok itu, ternyata sudah ada juri lain yang duduk, saya belum kenal, dari daerah lain juga, mungkin juri yang masih baru juga seperti saya. Saya bentak saja supaya pindah. Dia mau juga. Aman, pikir saya.”

Setelah itu, ia mencoba melirik ke blok lainnya, burung yang  sekiranya jadi saingan dekatnya. “Dalam situasi seperti ini, saya bekerja sendirian, tidak ada koordinasi dengan yang lain, saya pakai taktik lama yang sudah biasa dijalankan oleh juri lainnhya, baik di EO yang ini, juga di EO-EO lainnya, termasuk ketika saya sedang tidak jadi juri, hanya sedang ngawal. Selama burung kerja, ngitungnya kita murahin... bahkan sebenarnya kita tidak ngitung durasi si burung, tapi menghitung stik milik pesaing. Saya lirik pesaing kasih bendera 3, ya berarti saya kasih 4, atau tambahi bendera warna lainnya. Pokoknya selalu lebih banyak dari pesaing. Di kelas ini, burung yang saya nilai akhirnya bisa juara 1. Saya pun merasa lega.”

Sayang pada sesi berikutnya, dia tidak bisa melakukan hal yang sama. “Burung memang hanya kerja separuh lebih, mungkin sekitar tiga perempat saja. Selain itu, saya juga merasa ada dua kamera yang satu menyorot ke burung, yang satu menyorot ke saya. Mungkin itu kamera yang disewa oleh burung pesaing, ada curiga sama burung yang saya kawal. Kebayang misal nanti muncul di youtube burung posisi sedang tidak bunyi, tapi tetap saya kasih stik, atau terlihat saya kasih stik terlalu murah. Jadi pada kelas itu, saya hanya menghitung secara normal saja.”

Setelah lomba rampung, ia pun menghubungi bos. “Si bos bilang, itu hadiah ambil buat kamu. Wah, lega sekali rasanya. Bagaimana lagi, saya ke sini berangkat dari rumah Jumat  (karena Sabtu siang sudah harus sampai, ada briefing dan semacamnya), ini lomba rampung nyaris tengah malam, berarti sampai rumah lagi besuk Senin. Pergi dari rumah hitungannya 4 hari. Kalau hanya mengandalkan murni dari gaji, ya bisa tidak ada lebih yang dibawa pulang.”

Ia memastikan bila modus seperti yang ia jalani bukan hal baru. “Ini modus umum, hampir semua juri di semua EO sudah melakukannya. Saya kan hanya meniru dan belajar dari yang sudah ada sebelumnya.”

Ya seperti itu, bukan menghitung durasi burung, tapi malah menghitung poin atau stik burung pesaing, lalu kita tinggal nambahi saja biar selalu unggul. Jadi, itu yang menjelaskan kadang ada burung bisa dapat poin sangat besar, tidak masuk akal secara kalkulator normal. Bila juri sebelah bisa bekerja sama, itu lebih mudah. “Saya ngegass, juri sebelah ngerem. Jadi ngegassnya tidak perlu berlebih, poinnya tidak kelewat terlalu banyak hingga jadi bahan gunjingan. Atau pada event yang pointnya dibatasi, ini agak lebih sulit, karena bagaimana caranya poinnya bisa selisih tipis dengan batas maksimal poin. Tapi karena sudah sering dan terbiasa, ya sekarang itu jadi hal yang mudah juga.”

Ketika burung di blok yang mau dikawal sudah diisi orang lain, ya bagaimana caranya supaya dia mau pindah. Bila perlu dibentak atau dihardik dengan nada keras. Kalau panitia sudah punya sistem yang ketat, misal diundi blok, dan tidak ada celah supaya bisa ngusir-ngusir, itu yang repot. “Pengkondisian harus melibatkan beberapa atau bahkan semua juri, termasuk dengan korlap dan lainnya. Harus berjamaah. Lebih rumit situasinya, ongkos berarti lebih mahal. Tapi bukan berarti tidak bisa, syaratnya si bos memang harus mau keluar uang lebih banyak, mungkin jauh lebih besar dari nilai hadiahnya. Namanhya sudah terlanjur panas hati, biasanya ada saja bos yang mau merogoh kocek dalam-dalam demi bisa juara. Meskipun curang, dan mungkin memang jadi bahan gunjingan peserta lain.”

Selain itu, modus pengkondisian burung love bird juga tak hanya  terjadi di EO yang kebetulan menerapkan sistem poin baik dengan stik atau alat bantu lainnya. “Saat masih juri independen, atau saat mengawal di beberapa EO, ada yang tidak pakai stik. Tetap bisa malah relatif lebih mudah sebab peserta tidak bisa mencocokkan nilai poin kan.” [maltimbus]

KATA KUNCI: pakem love bird sistem poin menghitung durasi main mata peserta dan juri love bird

MINGGU INI

AGENDA TERDEKAT

Developed by JogjaCamp