H. ENGKUS, PELAKU SEJARAH YANG IKUT MERINTIS PAKEM LOMBA

H. ENGKUS & SEJARAH LOMBA BURUNG DI INDONESIA

Juara Itu dari Kualitas dan Kelebihannya, Bukan Kelemahannya

Banyak yang tidak atau belum tahu sejarah lomba burung di Indonesia. Cobalah ngobrol dengan H. Engkus, karena beliau adalah bagian dari pelaku sejarah itu sendiri. Sejak lomba belum ada, sampai sekarang EO tumbuh bak jamur di musim hujan, pak Engkus menjalaninya.

Burungnews kembali berkesempatan ngobrol santai dengan H. Engkus di sela-sela even Piala Gunung Kelir di Pasar Bedono, Kecamatan Jambu, Ambarawa pada 25 Maret yang lalu. Pak Engkus yang sekarang menjabat sebagai Kepala Divisi Juri di Oriq Jaya, sehari sebelumnya ikut mengisi kegiatan Diklat Juri Oriq Jaya di Bandungan, kemudian ikut memantau dan mengawasi saat para anak didiknya ikut bertugas di gelaran ini.

“Saya sudah mulai main burung tahun 70an waktu itu sama sekali belum ada yang namanya lomba burung. Barulah pada tahun 73-an, cikal bakal lomba burung mulai kita rintis. Kita coba mulai rumuskan angka-angka penilaian seperti 36 untuk angka dasar dan seterusnya, itu terus dikembangkan dan disempurnakan hingga seperti yang kita kenal sekarang,” ujarnya.

 

 

 

Ada beberapa orang yang ikut berperan membuat rumusan awal pakem lomba burung. “Sekarang yang masih hidup tinggal saya dan pak H. Dodot, lainnya sudah pada meninggal. Di generasi bawahnya ada juga nama-nama seperti Pak Mukri Jogja, Pak Hartono Sragen, dan beberapa orang PBI lama yang sedikit banyak juga masih bisa bercerita awal mulai dibuatnya pakem penilaian burung,” ujarnya.

Dari rintisan-rintisan lomba itulah, hingga pada akhirnya terbentuk organisasi seperti PBI. Sampai suatu saat, Pak H. Engkus dan H. Dodot memutuskan beralih ke BnR. Lalu terakhir, Pak Engkus berlabuh di Oriq Jaya, sementara H. Dodot di NZR.

Dari cerita di atas, artinya H. Engkus bukan hanya sebatas saksi sejarah, tapi juga pelaku langsung dari sejarah lomba burung itu sendiri. “Di PBI bisa dibilang saya dan yang sepuh-sepuh lainnya yang membina para juri, di BnR pun demikian lebih seribuan juri yang kita didik. Sekarang saya kembali mendidik para juri-juri di Oriq Jaya,” ujarnya.

 

 

Hal yang membuat H. Engkus sekarang merasa lebih nyaman, karena di Oriq segala hal terkait pakem penilaian diserahkan sepenuhnya padanya. “Pelan-pelan saya mencoba mengembalikan ke filosofi awal dan mendasar dari lomba burung. Burung yang bagus itu seperti apa sih... di Oriq pakemnya coba saya kembalikan ke awal, burung juara itu basiknya ya ke materi dan kualitas, bukan hanya burung kerja saja. Jadi secara prinsip pakem yang berlaku di Oriq memang jadi mirip-mirip dengan di  PBI, meskipun secara teknis tidak sama persis karena tentunya ada beberapa hal yang menyesuaikan juga dengan perkembangan tren dan jaman.”

Pendekatan pada pencarian materi dan kualitas itu, menurut H. Engkus, adalah bagaimana mencari keunggulan atau kelebihan dari burung yang sedang berlomba. “Jadi bukan mencari atau bahkan menandai kekurangan atau kelemahannya. Misal, burung terlihat sekali nabrak jeruji langsung ditandai, dihukum dengan dikurangi nilai, atau bahkan ada yang langsung diskualifikasi. Di sini kita coba bandingkan dulu dengan materi dan kualitas secara umum. Kalau memang sangat istimewa, kelemahan kecil misal hanya sempat lompat atau nabrak sesekali tidak ada masalah. Dia masih punya peluang untuk jadi juara.”

KATA KUNCI: haji engkus oriq jaya

MINGGU INI

AGENDA TERDEKAT

Developed by JogjaCamp