KELIK SUPARNO & HASIL JEPRETAN MAS IGNAS DI JATIMULYO. DULU PEMBURU BENERAN

DESA RAMAH BURUNG JATIMULYO, KULONPROGO

Pegiatnya Dulu Pemburu, Sekarang di Garis Depan Menjaga Alam

Anda yang berwisata di pegunungan Menoreh, melalui jalan lebar dan mulus di sekitar gua Kiskendo, Ekowisata Sungai Mudal, wisata alam Kembang Soka, air terjun Kedung Pedut, dan sekitarnya, akan menjumpai banyak papan nama bertuliskan “Desa Ramah Burung”, atau “Kawasan Pelestarian Burung”.

Tampak sejumlah gambar burung, lalu lebih detil lagi tertulis Perdes No. 08 tahun 2014 tentang Pelestarian Lingkungan Hidup. Belum lama ini, burungnews.com bertemu dengan para pegiatnya di Kopi Sulingan, tak jauh dari lokasi Ekowisata Sungai Mudal yang terletak di ketinggian 600an meter di atas permukaan laut, tepatnya di desa Jatimulyo, kecamatan Girimulyo, Kabupaten Kulonprogo.

Di situ sudah menunggu Kelik Suparno, yang mengelola Kopi Sulingan bersama dua rekannya. Kebetulan juga ada beberapa Perangkat Desa mulai dari Pak Sekdes dan beberapa Kaur. Obrolan pun mengalir tentang asal mula munculnya Perdes yang dimaksudkan untuk menjaga burung-burung yang ada di lingkungan desa Jatimulyo agar terhindar dari kepunahan.

 

 

PECINTA BURUNG, INI LOH SENJATANYA

 

Meski lumayan jauh, perjalanan dari Jogja menuju Jatimulyo cukup menyenangkan, jauh dari kesan membosankan. Seperti yang sudah disebutkan, jalannya cukup lebar, aspalnya mulus. Ada beberapa tanjakan yang lumayan ekstrim, juga kelokan khas di perbukitan. Udaranya juga bersih dan sejuk.

Pada beberapa bentangan alam di awal perjalanan, kita memang akan melalui daerah yang tampak kering dan gersang, karena musim kemarau yang panjang. Beberapa bagian jalan berada tepat di atas punggung bukit, sehingga ke kanan dan kiri mata memandang, tampak ngarai yang dalam dan membentang luas. Terlihat pucuk-pucuk pepohonan yang mempesona.

Namun semakin naik dan memasuki Jatimulyo, tampak kanan kiri jalan tumbuhan yang menghijau. Ada tanaman salak, kapulaga, kopi, dan tumbuhan tegakan tinggi seperti kelapa, sengon, dan jenis lainnya. Kita juga menjumpai beberapa petak hutan pinus.  Tidak terdapat tanda-tanda sedang musim kemarau panjang, kendati sejumlah selokan dan sungai mengering.

 

BREEDING, akan jadi masa depan lomba burung di Indonesia. Masyarakat semakin sadar dan bangga bila memiliki, memelihara, dan melombakan burung-burung hasil breeding yang ditandai dengan ring di kakinya. SUPER BREEDING, solusi para breeder, membantu penjodohan lebih cepat, kawin lebih ngisi, telur lebih banyak dan menetas, anakan lebih sehat dan tidak gampang mati.

 

Setelah melewati Gua Kiskendo, kita akan mudah menjumpai warung kopi maupun warung makan, juga beberapa toko kelontong atau minimarket yang cukup besar. Hal ini memang untuk menangkap peluang semakin banyaknya pelancong yang meramaikan jalan-jalan di sini. ada beberapa persimpangan jalan, namun ada papan petunjuk yang besar dan jelas. Dalam jarak yang dekat, juga banyak papan nama area wisata alam yang dikelola oleh masyarakat setempat.

Papan nama Kopi Sulingan tidak terlalu besar, terletak di kampung Bomas, sekitar 150 meter dari arah Ekowisata Sungai Mudal arah air terjun Kedung Pedhut atau Waduk Sermo, kanan jalan. Bila memakai kendaraan roda 4, parkirnya di sisi kiri atau kanan bau jalan yang cukup luas, lalu jalan kaki sekitar 30 meter. Kalau bingung, tinggal tanya penduduk atau petugas parkir di Sungai Mudal, pasti tahu.

Kopi Sulingan menempati bangunan limasan sekitar 100 meter persegi. Di halaman depan ada pemandangan kopi yang sedang dijemur, juga beberapa kotak kandang tawon Lanceng. Ada beberapa pasang meja kursi besar. Di sisi sebagian kecil ruang yang bertembok, dipasang gambar-gambar burung, termasuk dalam bentuk infografis yang menunjukkan burung-burung endemik di Jatimulyo.

 

SULINGAN / TLEDEKAN HASIL JEPRETAN KELIK, JADI FOTO PEMBUKA ALBUM

 

Ada juga yang dipasang dalam album vertikal di atas meja. “Itu gambar-gambar adalah asli diambil dari alam sekitar sini. Ada yang hasil jepretan kami sendiri, juga dari  teman-teman luar kota yang hunting ke sini. Sudah sering jadi daerah tujuan wisata khusus untuk mengamati dan memotret burung, dalam waktu dekat juga akan digunakan untuk jambore Bird Watching,” ujar Kelik Suparno, salah satu pegiatnya.

Banyak burung sudah dilepasliarkan di sini, dengan melibatkan lembaga yang cukup kredibel. “Pelepasaliaran biasanya juga melibatkan BKSDA. Sampai waktu tertentu, mereka secara periodik juga ikut memantau perkembangannya. Misalnya pelepasan elang, yang cukup berhasil karena tak lama kemudian segera menemukan pasangannya di sini. Kami juga punya kandang besar meski sederhana dengan rangka bambu untuk habiutasi atau penyesuaian. Jadi untuk burung yang sudah jinak, diajari dulu mencari sumber-sumber pakan alami seperi cacing dan serangga lainnya, juga supaya bisa terbang dengan cukup lincah untuk menghindari ancaman yang bisa menghadang di alam bebas.  Setelah kita anggap cukup, baru benar-benar dilepaskan ke alam. Semua itu tetap dalam pandampingan dari lembaga yang kompeten,” ujar Kelik lagi.

 

Apa latar belakang munculnya Perdes perlindungan burung?

Menurut Kelik, hal itu karena menyikapi punahnya sejumlah spesies, terutama yang punya nilai ekonomi cukup tinggi saat itu. “Sebut saja anis merah dan anis kembang. Sulingan atau tledekan meskipun masih ada, juga semakin sulit dijumpai. Anis merah dan anis kembang, benar-benar sudah tidak ada. Dulu cukup banyak, dan anis dari sini termasuk banyak dicari karena katanya punya mental bagus, kakinya warna hitam. Ya terus terang kami-kami ini dulunya juga termasuk para pemburu,” ujarnya Kelik yang kemudian diikuti tawa yang lain.

 

AKTIVITAS PENGAMATAN BERSAMA PEGIAT LUAR NEGERI

 

Sekretaris Desa Mardiyanta yang masih cukup muda juga mengakui, para pegiat-pegiat lingkungan di Jatimulyo sebagian memang pernah jadi pemburu. “Ya untuk yang seusia kami ke atas rata-rata pernah jadi penghobi dan pemburu burung. Untuk kondisi saat itu, selain asyik dan gagah kalau bisa dapat burung, kalau dijual juga lumayan.”

Setelah sejumlah burung mulai jarang dilihat, bahkan mungkin benar-benar sudah menghilang, barulah sebagian masyarakat, termasuk para tokohnya, mulai sadar bila burung yang semestinya ikut menjadi bagian dari kehidupan bersama, sudah tidak ada lagi. Suara-suara merdu yang memecah kesunyian di pagi hari, tidak ada lagi, atau setidaknya berkurang banyak. Masyarakat mulai merasa ada yang tidak lengkap, mulai merasa kehilangan.

“Sekarang bisa dikatakan, sekitar 90 persen penduduk di sini mendukung program ini. Dari masyarakatlah kita sering dapat laporan kalau misal ada pemburu yang masuk ke sini, lantas kita bergerak menindaklanjuti,” imbuh pak Sekdes.

 

SUASANA SANTAI DI KOPI SULINGAN

 

Ada yang baru dipantau sudah pergi lagi, balik arah, mungkin pulang. Ada juga beberapa yang tertangkap tangan. “Kalau di pasal-pasal Perdes sebenarnya ada aturannya, ada denda yang lumayan berat untuk ukuran penduduk desa. Namun sejauh ini kami masih mengedepankan upaya persuasif. Misalnya, asal yang bersangkutan mau mengakui kesalahan, berjanji tidak mengulangi lagi, paling kita sita peralatannya. Jaring misalnya kita rusak di hadapan masyarakat. Alhamdulillah, sejak terbitnya Perdes, sekarang sudah sangat berkurang perburuan satwa di sini. Kami tidak mengatakan tidak ada sama sekali, tapi sudah sangat berkurang,” imbuh Mardiyanta.

Menurut Kelik, jumlah spesies yang sudah terdata masih eksis di Jatimulyo ada sekitar 95 jenis burung. “Sudah terpantau, ada dokumentasi fotonya, sudah dilengkapi pula nama latinnya. Desa kami juga sering dapat kunjungan dari para pecinta burung yang ingin melalukan Bird Watching, hunting-hunting doto burung di alam bebas. Kami di sini yang paham di mana biasanya burung ada pada waktu tertentu, ikut mendampinginya. Ada juga aktivis asing yang datang ke sini. Kami semua bisa saling belajar bersama.”

 

TOPSONG BREEDING, cocok untuk indukan maupun anakan. Aman untuk meloloh baby, karena halus tanpa butiran keras / kristal. Tersedia dalam kemasan 1 kg - 25 kg. HOTLINE 0813.2941.0510

 

Ditambahkan kelik, berkurang atau untuk beberapa jenis punahnya burung di Jatimulyo mungkin memang tidak sepenuhnya karena ulah para pemburu. “Tapi jujur peran para pemburu seperti yang kami lakukan di masa lalu ada, meski itu bukan satu-satunya sebab. Faktor alam juga ikut berperan.”

Kelik lantas mencoba menjelaskan tentang faktor alam. Misalnya, dulu sebagian besar lahan di pegunungan Menoreh bisa dikatakan relatif telantar. Beberapa puluh meter dari rumah saja kebun-kebun sudah dipenuhi semak belukar dan tanaman perdu lainnya. Tidak terurus. Itu kan jadi habitat beberapa jenis burung.

Sekarang sudah dirawat intensif, ditanami kopi, kapulaga, salak, dan lainnya. Tanah di bawahnya secara periodik dibersihkan, dicangkul, lantas diberi pupuk. Pupuk kimia, kadang juga obat-obatan entah pestisida atau jenis lainnya, juga sudah kerap dipakai.

 

SEBAGIAN BURUNG HASIL JEPRETAN DI DESA JATIMULYO

 

“Kebun-kebun yang dirawat membuat burung-burung terdesak karena habitatnya jadi terusik, semak belukar dan tanaman perdu liar dibersihkan karena mengganggu tanaman pokok, penggunaan pupuk dan obat-obatan juga membuat cacing dan serangga jadi berkurang, burung pun akan berpindah lebih jauh yang masih relatif aman dan tersedia pasokan pakannya. Kira-kira begitu penjelasan sederhananya.”

Lokasi di sini berpotensi menjadi kawasan wisata alam yang menantang dan bisa berkembang pesat. “Bukan semata untuk melihat keindahan alam seperti curug, air terjun, atau melihat bentang alam landscape dari ketinggian, tapi juga  mengamati satwa liar yang terjaga. Di sini beda dengan tempat lain, karena bukan kawasan hutan lindung, atau taman nasional. Di sini kan area kebun-kebun milik masyarakat, jadi untuk menjaganya, memang ada unsur partisipatifnya,” imbuh Kelik lagi.

Sesungguhnya, peran cukup besar dan benar-benar berada di garis depan dalam menjaga kelestarian satwa khususnya burung adalah puluhan papan nama yang tersebar di sudut-sudut desa. “Sayangnya, belum semuanya terpasang, ya karena masalah dana. Selain itu, spanduk lama juga mulai lusuh dan memudar. Para pemburu kan begitu melihat papan nama itu sudah mikir, merasa tidak aman, merasa diawasi, kalau masih ada yang tersisa juga malu, jadi diharapkan berputar balik untuk pulang. Beberapa yang nekat cepat atau lambat juga akan ketahuan.”

 

BERSAMA BAGIYA RAKHMADI DAN PERANGKAT DESA. DI DEPAN INFOGRAFIS BURUNG

 

Dari mana membiayai kegiatan di sini?

“Ya antara lain sebagian dari keuntungan mengeloloa Kopi Sulingan ini,” jawab Kelik singkat. Nama Sulingan juga diambil dari nama burung yang merupakan endemik di sini, atau juga dikenal sebagai Tledekan, di beberapa daerah ada yang menyebut Longa-Longo.

Kelik dan kawan-kawan pun punya harapan, beberapa jenis burung yang dulu ada dan sekarang menghilang, seperti anis merah, anis kembang, bahkan kacer yang jadi identitas Kulonprogo, cepat atau lambat bisa dilepasliarkan lagi di kawasan Jatimulyo.

“Kami ingin seperti dulu lagi, burung-burungnya banyak, bisa hidup berdampingan dengan kami tanpa saling mengganggu. Sebenarnya kalau populasinya sudah melimpah, boleh juga dimanfaatkan, tetapi tetap harus bijak.” ***

 

ADA KESAMAAN VISI -MISI

Beberapa waktu yang lalu, Ketua Pelestari Burung Indonesia (PBI) H. Bagiya Rakhmadi, SH, MH mengunjungi Jatimulyo, dan ketemu Kelik dan kawan-kawan. Kehadirannya adalah ingin mendengar secara langsung perihal Desa Ramah Burung itu seperti apa.

“Kebetulan, ini kan dalam rangka usia PBI yang ke-45, kami juga sedang mengumpulkan burung-burung sumbangan dari hasil tangkaran peternak binaan kami, rencana merupakan bagian dari upaya re-stocking. Tentu kita pilah-pilah sesuai habitat aslinya. Kalau ada yang cocok untuk dilepas di sini, akan kita coba arahkan ke sini,” ujarnya.

Bagiya juga bercerita pernah melepasliarkan beberapa jenis burung  seperti anis merah dan kacer di hutan lereng merapi, yang juga berimpitan dengan perkampungan. “Sebelumnya kami mesti melakukan sosialisasi, mengedukasi masyarakat supaya ikut aktif berperan menjaga alam di sekitarnya, supaya satwa terutama burung-burungnya bisa aman dan nyaman, tidak jadi sasaran para pemburu. Alhamdulillah, itu cukup berhasil.”

 

DI DEPAN PAPAN NAMA DESA KAWASAN PELESTARIAN BURUNG. COCOK DENGAN VISI-MISI PBI

 

Beberapa pegiat utamanya benar-benar cukup militan dalam menjaga alam secara umum, tidak hanya burung-burung yang dilepas. “Banyak halangan, hadangan, bahkan juga ancaman serius dari para pemburu yang sebagian bisa dikatakan cukup terorganisir. Tapi itu semua tidak mengendorkan, tapi malah menyolidkan.”

Bagiya mengaku sangat tertarik dengan cerita tentang desa di Jatimulyo. “Nah, di sini kan malah masyarakatnya sudah sadar, sudah terdidik, paling tidak perangkat atau aparaturnya juga berada di garis depan. Mungkin belum semua, tapi sebagian besar pasti memberikan dukungan. Jadi sangat pas organisasi seperti PBI, juga yang lain-lain, kalau bisa bersinergi dan saling mendukung, saling menguatkan. Apa yang sudah ada di Jatimulyo ini, mestinya juga bisa jadi inspirasi dan pilot projek untuk desa-desa lainnya. Pemerintah memang tidak bisa sendirian, semakin besar partisipasi masyarakat, akan semakin bagus.”

 

BACA: Mereka Berani Bertaruh Nyawa Demi Menjaga Burung di Alam Bebas

 

Mardiyanta, Kelik, dan kawan-kawan pegiat Perlindungan Lingkungan Desa Jatimulyo juga akan diundang untuk bisa hadir di Piala Raja, yang hadir pula perwakilan dari Pemerintah, dalam hal ini dari Kementerian Lingkungan Hidup. Rangkaian kegiatan ulang tahun PBI, juga akan dilaksanakan di even Piala Raja.

“Insya Allah, PBI juga akan memberikan apresiasi, meski kecil, kami akan mencoba memberikan beberapa hal yang bisa membantu masyarakat Desa Jatimulyo agar bisa lebih semangat lagi dalam menjalankan program Kelestarian dan Konservasi di sana. Tentu tidak sampai di sini, kami akan terus berkomunikasi dan sering berkunjung ke sana.”

Anda yang penasaran dan pengin berwisata ke sini, cara paling mudah dan gampang bila dari arah Jogja adalah dari perempatan setelah menyebrang jembantan sungai Progo dari jalan Godean - Jogja, terus ke selatan, kemudian jalan mulai menanjak.  Atau cukup dengan menuliskan nama tempat wisata yang cukup populer, seperti Gua Kiskendo, Ekowisata Sungai Mudal, Wisata Alam Kembang Soka, air terjun Kedung Pedut, atau langsung Kopi Sulingan, aplikasi semacam google map atau waze juga akan mengantarkan Anda sampai tujuan. [ditulis dan post oleh maltimbus]

 

KATA KUNCI: kelik purnomo bagiya rakhmadi desa jatimulyo desa ramah burung kawasan pelestarian burung eko wisata banyu mudal kopi sulingan pbi kulonprogo

MINGGU INI

AGENDA TERDEKAT

Developed by JogjaCamp