Mr. BAGIYA BERSAMA PARA PENJAGA BURUNG DI LERENG MERAPI

Mereka Siap Bertaruh Nyawa Demi Menjaga Burung di Alam Bebas

 

 

Dusun Tritis di kaki bukit Turgo, lereng Merapi sisi barat daya, cukup sepi di siang hari. Anak-anak masuk sekolah. Penduduk baik lelaki dan perempuan yang dewasa ke ladang.Ada yang mencari rumput, kayu bakar, atau merawat ladang.

Pohon salak mendominasi ladang sekitar rumah penduduk. Untuk pepohonan tinggi banyak didominasi bambu, selain nangka. Tanaman perdu seperti kopi juga masih banyak dijumpai di ladang-ladang sekitar dusun, semak belukar terlihat rimbun menutup lereng-lereng tebing.

 

HARMONI DENGAN ALAM, MENJADIKANNYA TETAP KUAT, SEHAT, & MEMBERI MANFAAT

 

Angin semilir terasa sejuk. Air bening gemericik jatuh ke bak-bak penampungan milik penduduk. Di pagi hari, suara burung masih terdengar riang. Demikian pula sore hari saat pulang setelah seharian berkelana mencari makan.

Harmoni antara manusia dan alam masih cukup terasa. Di sini, hidup masih terasa santai, tenang, dan damai. Tidak ada suasana tergesa-gesa.

Namun, keheningan dan ketengan dusun di lereng gunung ini kadangkala terganggu saat sejumlah penduduk “kota” datang ke sini.

 

SAPI KENYANG, HIDUP JADI TENANG

 

Sekelompok orang dari luar dusun Tritis ini bukan datang karena ingin 'numpang' menghirup udara yang segar atau menenangkan diri. Mereka memburu burung-burung yang awalnya hidup damai di sini.

Mereka memburu dan menangkap acak burung jenis apa saja yang dijumpai dan bisa dijual lagi. Ada pleci, selain trucukan, ciblek, kutilang, bahkan juga anis merah.

Kehadiran para pemburu liar itulah yang membuat keberadaan para penjaga alam seperti Jemingin, Yatno, Mulyanto, dan kawan-kawan yang tinggal di dusun-dusun lereng Merapi menjadi penting.

Di tangan mereka lah kita masih bisa berharap keberadaan burung-burung di alam bebas, setidaknya di lereng Merapi, tetap bisa dijaga kelestariannya. Termasuk burung elang Jawa yang jadi maskot.

Jemingin dan kawan-kawan tidak dibayar. Bahkan, perhatian terhadap mereka pun cukup minim. Namun bahaya kerap mengancam mereka secara langsung! 

 

DAHAN KOPI. SALAH SATU PERDU FAVORIT ANIS MEMBUAT SARANG

 

Para pemburu itu tidak sendirian. Mereka juga punya banyak teman, dan tentu saja merasa tidak nyaman alias terganggu juga dengan keberadaan Jemingin dan kawan-kawan.

Ruang geraknya menjadi  terbatas. Mereka mesti kucing-kucingan agar bisa menangkap burung, yang sesungguhnya juga bukan milik Jemingin dan kawan-kawan.

“Saya sering diancam para preman yang membeking para pemburu. Mungkin mereka para pengepulnya, atau yang dibayar oleh para pengepul. Ancaman itu tidak hanya melalui telepon, tapi beberapa kali juga datang langsung ke rumah. Selain memaki-maki, juga mengancam mau bunuh segala. Tapi kami tidak takut. Kami lahir dan besar di sini, sudah terbiasa hidup keras di lereng gunung,” ujar Jemingin bersemangat.

Semangat seperti itulah yang membuat bangga Mr. H. Bagiya, SH, ketua Pelestari Burung Indonesia (PBI) Pusat, saat datang menyambangi dusun Tritis. Beberapa tahun lalu, PBI memang melepaskan puluhan ekor anis merah, yang kemudian diikuti dengan pelepasan jenis kacer.

“Karena di sini kan aslinya memang habitat anis merah dan kacer. Hanya saja sekarang tinggal sedikit saja, itu pun ada di pucuk bukit sana. Itu sebabnya kami pilih lepas di dusun-dusun sekitar sini. Kita memang berharap besar pada masyarakat sekitar sini untuk bersama-sama menjaganya,” ujar Mr. Bagiya.

Dari pantauannya, sejumlah anis merah mulai berkembang biak. Itu terlihat dari sarang yang ditemukan. Ada yang masih baru, ada pula yang sudah bekas telur-telur menetas. Artinya, anakan sudah bisa terbang sendiri.

Penduduk melaporkan, di pagi hari, suara-suara anis merah sering terdengar. Beberapa secara rutin juga turun ke sekitar kandang sapi, mencari cacing.

 

DI DEKAT KANDANG SAPI, ANIS MERAH SERING TURUN MENCARI CACING

 

“Pernah kita lepas burung baru, ternyata langsung dikejar dan diserang oleh burung lama yang terlebih dahulu dilepas sebelumnya. Jadi daerah sini memang sudah ada yang menguasai, kalau ada yang lain akan dikejar dan diserang,” terang Jemingin.

Menurut Mr. Bagiya, pada masanya, penduduk boleh mengambil manfaat, tapi harus secara bijaksana. Boleh dipanen anakannya secara terbatas, tidak semua. Sebagian dibiarkan supaya bisa menjadi indukan lagi di alam bebas. Itulah pentingnya mengedukasi masyarakat.

Menjaga alam bebas yang begitu luas memang tidak mudah. Para pemburu itu beberapa kali  tertangkap basah. Namun ada pula yang tidak terpantau.

“Beberapa kali ada yang tertangkap entah karena menangkap pleci atau jenis lainnya. Oleh penduduk, diserahkan ke polisi. Orang itu wajib mengganti 10 burung untuk dilepas lagi, tidak harus pleci, jenis lain seperti kutilang, trucukan, juga tak apa. Nah, mungkin teman atau pengepul dari orang-orang yang pernah tertangkap penduduk , atau belum jadi memburu sudah diusir penduduk, yang kemudian tidak terima dan mengancam kami,” ujar Yatno. 

Keberadaan burung-burung di alam bebas sendiri bagi penduduk dianggap penting dan memberikan manfaat nyata. "Misalnya, menjadi salah satu yang memberikan pesan kepada kami ketika gunung dalam keadaan bahaya," jelas Mulyanto.

 

KATA KUNCI: penjaga burung di alam bebas jemingin yatno bagya rakhmadi pbi kacer anis merah pleci kutilang tengkulak burung pemburu liar preman burung desa tritis bukit turgo lereng merapi elang jawa bertaruh nyawa penjaga alam

MINGGU INI

AGENDA TERDEKAT

Developed by JogjaCamp