TAB & LAYAR MONITOR UNTUK KONTROL

MENILAI LOVE BIRD PAKAI TAB DI PIALA CANDI BOROBUDUR

Ini Dia Evaluasinya

 

 

 

Ada sesuatu yang baru di gelaran Piala Candi Borobudur oleh Ronggolawe Nusantara, Minggu 21 Mei yang lalu. Saat menilai love bird, juri tidak lagi memegang bendera atau stik, tapi perangkat modern Tab.

Tab itu sudah diisi program khusus yang di dalamnya ada stopwatch untuk mengukur berapa lama sang love bird ngekek, dan sudah ada konversi nilainya. Jadi, dengan dibantu asisten, sang juri tinggal KLIK tombol (star atau mulai) pada nomor gantangan saat si jago mulai bunyi, dan kemudian KLIK (end atau berakhir) bila jago tersebut berhenti ngekek.

Harus diakui, sistem ini lebih akurat dibanding cara manual yang menghitung durasi love bird berdasarkan hitungan ketukan yang hanya mengandalkan perasaan. Hitungan ketukan tiap juri yang satu dengan yang lain bisa saja tidak persis sama.

 

JURI DIBANTU ASISTEN MEMANTAU LOVE BIRD YANG KERJA

 

Dari sisi waktu, juga lebih efisien. Hanya butuh beberapa menit saja hasil rekap “ajuan” tiap juri sudah bisa terhitung, langsung secara otomatis juga diranking. Hasil penilaian juga secara detil juga bisa disimak oleh peserta melalui layar monitor.

Bila ada yang komplain, bagian rekap bisa menunjukkan dengan detil, misalnya burung A selama penialian bunyi berapa kali, dan masing-masing sekali bunyi berapa detik, dan poin yang didapat dalam sekali bunyi berapa.

Meskipun begitu, sejumlah peserta tampak komplain dan kurang bisa menerima penjelasan walau pun sudah diberikan lembar rekap secara detil. Beberapa peserta itu merasa, harusnya burung miliknya mendapat nilai yang lebih besar dari yang diterima saat itu.

Komplain peserta itu bisa saja benar, tapi juga bisa keliru. Sebab sang penilai sudah mengandalkan mesin penghitung waktu, sementara sebagian besar peserta masih mengandalkan perasaan dalam hal menghitung durasi si burung.

Meskipun begitu, karena sistem ini dibuat dan dijalankan oleh manusia, harus diakui memang tetap masih ada beberapa kelemahan, baik  dari sisi sistem maupun kelemahan yang melekat pada diri manusia.

 

Mr ONE D BANDUNG. IDEALNYA VARIASI LAGU DIBERI BOBOT 40%

 

Hal ini seperti yang dipertanyakan sebelum lomba oleh One-D dari Bandung Juara. Dalam kolom komentar di berita awal tentang penerapan sistem ini di burungnews.com, pemilik love bird Gideug ini melihat, sistem ini hanya mengedepankan durasi, lalu kerajinan. Bagaimana dengan variasi lagu, yang menurutnya One D, harusnya punya bobot 40 persen.

Antok 999 Sragen juga menegaskan, sistem bendera/stik yang di Piala Candi Borobudur diaplikasikan dengan Tab, memang hanya menilai kerajinan dan durasi saja. “Jangankan variasi lagu yang lebih rumit karena ada faktor perasaan dan selera, volume burung pun tidak diberi bobot. Itu memang sisi lemahnya. Sisi baiknya, sistem ini dianggap lebih adil karena terukur, dan oleh sebagian peserta love bird termasuk di Solo Raya dan sekitarnya, lebih bisa diterima.”

 

ANTOK 999 SRAGEN. MENGELOLA GANTANGAN BOSS

 

Konversi nilai yang diterapkan oleh Ronggolawe Nusantara juga tampak berbeda dengan di EO lain pada umumnya, yang umumnya lebih memberikan bobot pada kerajinan, atau yang biasa kita sebut konslet.

Pada sistem yang banyak berlaku di sejumlah EO lain, burung yang sangat rajin atau konslet, meski pun relatif pendek-pendek, akan menang melawan burung yang berdurasi ngekek sangat panjang, tapi hanya bunyi beberapa kali saja.

Coba kita amati tabel. Misal burung A bunyi 3 kali dengan durasa 20-30 detik, poinnya 3 x 30 total 90. Sementara kalau ada burung B yang bunyi sekali  dengan durasi 51-60 detik, poinnya 120. Jadi yang bunyi sekali panjang, menang atas yang bunyi 3 kali dengan durasi seperuhnya.

 

KOVERSI DURASI DENGAN POIN YANG DITERAPKAN RONGGOLAWE NUSANTARA

 

Gambaran lain, burung C yang sangat rajin hingga bunyi 15 kali dengan rata-rata durasi antara 31-40 detik, akan punya poin 15 x 60 poin, yaitu 900. Seandainya ada burung D yang cukup 1 kali bunyi tapi durasinya nyaris 3 menit atau 180 detik, akan menang karena poinnya 930.

Atau burung D hanya bunyi 2 sampai 3 kali, tapi durasinya panjang-panjang pada level 111-120 detik. Faktanya, burung C yang bunyi 15 kali tersebut, beberapa kali di antaranya pasti ada yang durasinya lebih pendek dari 31-40 detik, sehingga poin total yang ia kumpulkan pasti di bawah 900.

Hal itulah yang membuat sejumlah burung konslet yang biasanya borong atau sapu bersih juara di lomba lain, di sini sulit mempertahankan posisi untuk terus meraih juara 1.

 

PESERTA BISA MELIHAT HASIL PENILAIAN JURI DI PAPAN MONITOR

 

Bagaimana dengan sisi lemah yang melekat pada si manusia yang menjalankan sistem ini? Pertama, ketika banyak burung yang bunyi relatif bersamaan, juri bisa saja terlambat beberapa detik saat menge-KLIK tombol nomor gantangan sebagai tanda (MULAI).  Hal yang sama juga bisa terjadi saat ia kembali mengeKLIK tombol (AKHIR).

Terlambat menge-KLIK tombol (MULAI) merugikan nomor gantangan tersebut, tetapi terlamba menge-KLIK tombol (AKHIR) memberikan keuntungan pada nomor gantangan dimaksud. Kesalahan yang mungkin terjadi dan bisa lebih fatal, dalam kondisi gugup ia juga bisa saja keliru mengeKLIK tombol nomor gantangan sebelahnya.

Kita berpikir positif, kelemahan yang  terjadi itu semata-semata karena faktor manusiawi, bukan karena kesengajaan. Misalnya karena ingin memberikan kerugian atau keuntungan pada nomor gantangan tertentu. Pemanfaatkan teknologi seperti yang diterapkan oleh Ronggolawe Nusnatara, bagaimana pun adalah yang baik dan bisa pula diadopsi oleh yang lain. Soal pemberian bobot nilai pada tiap durasi tertentu, ya tergantung kebijakan tiap EO.

 

 

MINGGU INI

AGENDA TERDEKAT

Developed by JogjaCamp