ANGGA, DAMAR, TEDDY, & DICKO. KAMI JUGA MANUSIA, MASIH PUNYA RASA KASIHAN

DICKO DKK BICARA BLAK-BLAKAN SOAL PELAPORAN ITE

Tidak Ada Dendam, Ini Pembelajaran Bersama

Dicko, Teddy, Damar, Angga, mewakili kru Fitri BKS angkat bicara soal berbagai komentar terkait pelaporan atas UU ITE. Mereka memastikan bahwa laporan itu tidak didasari rasa dendam, juga tidak serta merta karena sudah memberikan waktu kepada terlapor untuk klarifikasi.

Ada proses yang melandasinya, juga setelah mempertimbangkan banyak hal, termasuk rasa keadilan untuk semua pihak, sebagai reaksi yang dianggap paling sehat, sekaligus bisa menjadi pembelajaran untuk semua kicaumania.

“Kami juga manusia seperti yang lain, ketika diolok-olok secara tidak pantas, sangat berlebihan, dilakukan di depan umum karena bisa bisa dibaca ribuan orang dan lalu bisa disebarkan lagi ke ribuan orang lainnya, wajar kan kita juga malu. Secara spontan tentu ada rasa marah dan sakit hati,” jelas Dicko yang didampingi rekan-rekannya yang pernah jadi kru Fitri BKS.

 

 

 

Meskipun begitu, mereka mencoba bersabar dan tidak memberikan reaksi spontan secara emosional. “Kami terus berusaha untuk tenang dan berpikir secara jernih, bersikap dewasa menghadapi cercaan yang sangat pedas saat itu,” imbuhnya.

Dicko lalu mengajak kita semua untuk mencoba merenung kembali. “Sekarang bayangkanlah kalau situasinya juga dibalik. Anda yang diberlakukan seperti itu. Diolok-olok sampai kebun binatang juga keluar semua, nantang-nantang baik dengan kata-kata atau memakai gambar/tanda yang mengancam, pokoknya menteror, terus dibaca ribuan orang yang sebagian juga mengenali kita. Kira-kira bagaimana. Mau tetap dianggap sebagai obrolan ringan dan guyonan semata?,” ujarnya retorik.

 

 

JANGAN NGAKU MURAI MANIA KALAU BELUM MEMAKAI BAJU KEREN INI. Bisa pesan sekarang ke 0852.5863.4229.

 

Setelah saling berdiskusi dan mempertimbangkan secara matang, juga setelah memantau perkembangan di medsos ternyata tidak ada upaya untuk menghentikan olok-olok malah semakin berkembang liar, barulah diputuskan untuk melaporkan kepada pihak berwajib.

“Kami baru membuat laporan dua hari setelah kami membaca postingan yang diawali pada 26 Juni malam. Tepatnya pada Selasa 28 Juni 2016 yang lalu. Laporan itu juga masih memberikan waktu dua hari kepada para terlapor apakah ada itikad baik untuk meminta maaf atas perilakunya itu,” imbuh Teddy.

Ditambahkan, bahwa materi laporan adalah berdasarkan pada tindakan berupa ucapan secara tertulis di media sosial. “Jadi yang kami laporkan itu perilakunya, tidak ada sangkut paut dengan pintar atau bodoh, kaya atau miskin, atau hal lain yang bersifat personal.”

 

MASA DEPAN (LOMBA BURUNG) KITA TERGANTUNG PADA BREEDING. Karena meningkatnya kesadaran, banyak orang akan lebih memilih burung hasil breeding ketimbang tangkapan alam. Regulasi juga akan lebih ketat untuk menjaga alam sebagai habitat burung.

TOPSONG bersama Topsong Breeding dan Top Grit for Breeding, membantu menjadikan lomba burung hasil breeding lebih cepat jadi kenyataan. HOTLINE 0813.2941.0510

 

Sampai tenggang waktu itu 2 hari itu habis, ternyata tidak semua terlapor mau memanfaatkannya dengan baik, sehingga laporan pun terus berlanjut, dan kini sudah memasuki fase sidang. Lalu, sebagian orang baru ikut-ikutan bereaksi.

“Padahal proses awal dulu ketika kami membuat laporan, juga sudah jadi rahasia umum. Bisa dikatakan semua orang baik yang mengenal kami sebagai pelapor maupun mengenal terlapor, juga tahu iniformasi itu. Tapi waktu itu, rasanya tidak ada dari pihak di luar kami sebagai pelapor dan terlapor yang berusaha melakukan upaya semacam mediasi,” imbuh Dicko.

Dari tiga terlapor, 2 di antaranya di pekan-pekan awal setelah laporan, sudah berupaya menemui Dicko dan kawan-kawan untuk klarifikasi dan meminta maaf, meskipun baru sebatas lisan. Sementara satu lagi yaitu Tri Margono alias Lowok baru benar-benar menemui dan minta maaf secara lisan dua hari setelah sidang pertama, setelah melewati masa 1,5 tahun lebih.

 

 

“Lowok memang mengaku baru menemui saya saat itu karena sebelumnya minder, takut dan semacamnya karena merasa orang kurang berada, juga bingung apa yang mesti dilakukan karena merasa orang bodoh. Ya monggo-monggo saja, itu hak dia. Tapi ini kan jelas sudah sangat-sangat terlambat, karena sudah P21 bahkan sidang sudah berjalan.  Jadi, kami hanya menyayangkan kenapa waktu yang kami berikan dulu tidak dimanfaatkan sebaik-baiknya. Apa sebab pastinya, ya hanya yang bersangkutan yang tahu.”

Dicko dan kawan-kawan juga hanya melaporkan tindakan-tindakan yang dianggapnya melanggar hukum. Pihak berwajiblah yang kemudian menindaklanjuti, apakah yang dilaporkan itu ada pelanggaran hukum atau tidak. Itu sepenuhnya sudah menjadi bagiannya pihak berwajib.

“Kami tidak lagi ikut campur soal itu. Kami juga tidak menuntut ganti rugi apakah itu hitungan materiel maupun imateriel. Juga tidak ada permintaan secara khusus, misalnya ingin terlapor diberi hukuman seberat-beratnya. Tidak ada itu. Jadi sekali lagi, kami tidak mendapatkan apa-apa dari kasus ini, secuil materi atau sepeser rupiahpun. Waktu yang hilang maupun biaya mondar-mandir karena urusan ini, sepenuhnya kami anggap sebagai konsekuensi sehingga juga menjadi tanggungan kami sendiri.”

 

JAGO SUDAH MAU TAMPIL MAKSIMAL & STABIL? Selamat, itu pasti karena MONCER1, asupan paten para juara dari Super Kicau Grup, pelopor produk berkualitas untuk burung berkicau.

 

Hal ini dilakukan, karena niat awalnya hanya ingin memberikan pembelajaran. Tidak hanya untuk para terlapor, tetapi juga untuk para kicaumania pada umumnya. Supaya memahami dan menyadari, sekarang ada UU ITE yang bisa mengenai siapa saja kalau tidak hati-hati dan bijak memanfaatkannya.

“Karenanya bila kemudian ada persepsi seolah kami sebagai pelapor terlalu berlebihan, kejam, jahat dan semacamnya wong urusan hobi kok harus sampai ke meja hijau, menurut kami karena yang punya persepsi dan kemudian coba mengembangkan opini baru itu tidak memahami permasalahan ini secara utuh, hanya tahu sepotong-sepotong, tapi langsung bereaksi.”

Dicko dan kawan-kawan kembali menggarisbawahi bila sampai sekarang, mereka juga masih punya rasa kasihan dan kemanusiaan juga, seperti yang lain-lainnya. “Seperti lainnya, kami juga punya keluarga, saudara, teman. Artinya kalau dipermalukan dan semua itu ikut tahu, tentunya wajar kalau kami juga punya rasa marah, gelo, sakit hati, dan semacamnya. Namun, sekali lagi, kami tetap berusaha menahan diri, tenang, dan segala sesuatunya kami pikir dan pertimbangkan dulu sebelum bertindak.”

 

BANYAK KICAUMANIA SUDAH MENCOBA DAN MERASAKAN BEDANYA MEMBERIKAN TWEET SONG. Bagaimana dengan Anda, sudah mau move on juga?

 

Secara pribadi, Dicko dan kawan-kawan juga mengaku masih bisa dan akan memberikan pintu maaf. “Ya tentunya harus didahului dengan kesadaran dari terlapor bila mereka secara sadar mau mengakui kesalahan, lalu mengucapkan permintaan maaf secara terbuka, sebagaimana dulu juga menyiarkan ujaran yang tidak pantas itu secara terbuka. Asumsinya, orang-orang yang dulu membaca olok-olok kepada kami, juga membaca permintaan maaf dan pengakuan itu sebagai kesalahan. Sampai sekarang, kami belum melihat semua terlapor melakukan itu.”

Pemberian maaf dari Dicko dan kawan-kawan selaku pelapor, secara teknis bisa mengurangi penuntutan hukuman. “Sekarang kan kasusnya sudah P21, sudah mulai sidang, secara teknis tidak bisa kami menarik lagi gugatan itu. Tapi setidaknya, kita berharap itu bisa meringankan, syukur keluar putusan yang paling ringan, meskipun tetap diputus bersalah. Sekali lagi, karena yang kami inginkan lebih untuk memberikan pembelajaran untuk kita semua.”

Diluar soal kasus ini, Dicko juga menceritakan, bila soal merasa dirugikan saat kontes burung, dirinya juga sering merasakan. “Jadi jangan dikira burung kami selalu menang. Banyak kontes saat menurut kami seharusnya burung kami layak juara, pilihan juri ternyata bisa meleset dari yang kami kira. Mulai even sekelas latpres hingga even besar. Kalau memang kami anggap sangat mencolok, kami juga juga akan menanyakan kepada team juri, kenapa bisa begitu, di mana kurangnya.”

Tentu sangat disadari, komplain tidak akan mengubah keputusan apa pun. “Setidak kami berharap komplain juga bisa jadi bahan belajar, bisa sebagai bagian dari kritik dan masukan. Kami berpikir positip setelah itu juri mungkin akan merenung, oh tadi pilihannya kurang tepat, burung yang bagus seharusnya yang seperti ini-itu, dan semacamnya. Urusan selesai, tidak sampai  membawa-bawa pihak lain.”

KATA KUNCI: uu ite dicko bimo agpriano teddy bks damar jogja angga jogja

MINGGU INI

AGENDA TERDEKAT

Developed by JogjaCamp