PRIO SUTRISNO, MENGAMATI PENILAIAN LOVE BIRD SETELAH TANPA STIK POIN

CATATAN DARI PIALA PASUNDAN 4

Tak Ada Lagi Ricuh di Kelas Lovebird Umum, Karena Tidak Menggunakan Stik Poin?

Salah satu yang dikhawatirkan pada banyak gelaran saat ini, termasuk Piala Pasundan 4 (11/10), adalah potensi kembali ricuhnya kelas lovebird umum. Padahal, di sini membuka 8 kelas. Prio pun memberikan warning, bila sampai ada yang ricuh, kelas berikutnya akan dibatalkan.

Prio rupanya perlu mengingatkan dengan cara yang keras, mengacu pada kericuhan serupa di event RGN sebelumnya, JnJ Cup Cirebon. Kericuhan yang menyebabkan beberapa kelas lovebird umum di sesi berikutnya juga dibatalkan.

Kekhawatiran tersebut ternyata tidak terjadi di Piala Pasundan. Semua kelas lovebird umum sampai lomba dinyatakan selesai saat memasuki jam 18.00, berlangsung relatif lancar tanpa kendala berarti. Satu dua protes ada, seperti pada umumnya lomba, tetapi masih terkendali dan jauh dari kesan ricuh.

Adakah yang membedakan dengan event-event sebelumnya sehingga bisa “meredakan” amarah yang kerap muncul dari para peserta lovebird umum?

Untuk pertama kalinya, RGN menerapkan pola baru dalam menilai lovebird, menghilangkan stik poin dan menggantinya dengan cara “mencoret” pada kertas rekap. Hal ini sebelumnya memang pernah disosialisasikan melalui chanel you tube, yang dipresentasikan oleh Sekjen RGN Asep DM.

 

 

BACA JUGA: RGN GANTI STIK POIN DENGAN MENULIS PADA KERTAS REKAP, JURI ROTASI SEKALI

 

Sebenarnya, secara konsep, ini tidak benar-benar sesuatu yang baru. Konsep besarnya tetap menghitung kombinasi durasi dan kerajinan. Hanya saja, bila sebelumnya menggunakan alat bantu stik poin, diganti dengan mencoret pada lembar rekap, ditambah sekali rotasi.

Menurut Aldo, salah satu korlap yang bertugas di Piala Pasundan 4, model baru ini tentu saja memiliki kelebihan dan kekurangannya, dibanding saat masih menggunakan stik poin.

“Kita pakai ini, lebih karena pertimbangan akan ada beberapa kelebihan atau keunggulan. Setelah kita simulasikan, pontensi mengurangi komplain peserta memang signifikan sekali,” ujarnya kepada burungnews.com.

 

Hari gini belum pakai TWISTER? Segera merapat di kios-kios / agen terdekat, bila belum ada mintalah untuk menyediakan, biar Anda dan para kicau mania lainnya lebih mudah mendapatkannya. Coba dan buktikan kualitasnya, dan berikan respon melalui hotline 08112663908.

 

Pola ini membuat ruang gerak juri untuk "bermain" curang benar-benar dipersempit, untuk tidak mengklaim dihilangkan sama sekali. “Satu sesi akan ada dua babak atau dua kali penilaian. Penilaian masing-masing babak 3 menit. Sebelum babak penilaian pertama dimulai, timer akan menghitung tiga…, dua…, satu… mulai! Demikian pula saat berakhir, lalu ketika akan memulai lagi babak ke dua. Korlap akan merotasi dengan arah dan jumlah langkah secara acak. Mislnya rotasi satu blok ke kiri, bisa saja diubah ke kanan, rotasinya juga bisa dibuat dua atau tiga blok dengan arah acak ke kiri atau ke kenan. Dibuat acak, supaya juri tidak tahu setelah babak pertama, pada babak ke dua akan digeser ke mana., atau juri yang akan menggantikan posisi di bloknya siapa.”

Pada saat bergerak atau bergeser, juri berhenti menilai burung. Artinya, ketika ada burung yang tetap bunyi saat jeda rotasi, suara atau ngekek tersebut tidak dinilai, hilang, hangus. Setelah juri berada di blok baru dan waktu penilaian dinyatakan dimulai, barulah dinilai lagi.

“Nah, ini memang ada jeda waktu, kita sudah tentukan maksimal 5 detik, yang bisa saja ditafsirkan merugikan peserta yang kebetulan burungnya sedang bunyi. Tapi kan semua peserta merasakan hal yang sama. Ini memang bagian dari pilihan pola penilaian yang tidak bisa dihindari.”

Hal lain yang terasa sekali perbedaannya dari sisi peserta, model ini jadi lebih tertutup, dalam arti perhitungan juri atau apa yang ditulis/dicoret oleh juri tidak terlihat oleh peserta sehingga tidak bisa dibandingkan secara langsung dengan hasil hitungan si peserta dari pinggir lapangan.

 

 

“Pertanggungjawaban juri adalah dengan menempel hasil penilaian atau penghitungan setelah lomba selesai. Kan ada nama atau kode, lalu ada paraf atau tanda tangan. Hasil penilaian itu setelah rampung kita tempel dan bisa dilihat oleh publik. Kalau peserta ada yang keberatan, ada ruang untuk bertanya atau komplain,” imbuh Aldo.

Meski diakui ada banyak kritik pada model ini, terutama karena dianggap tidak transparan, menurut Aldo ada sisi baiknya yaitu juri bisa lebih fokus dan tenang dalam memantau dan menilai burung. “Terasa sekali tekanan langsung dari para peserta berkurang jauh. Kami jadi bisa lebih tenang dan fokus saat menilai. Hal ini bagi kami sangat mempengaruhi hasil akhir, jadi lebih baik.”

Pada penerapan stik poin, tekanan langsung dari para peserta benar-benar terasa. Sering penilaian baru dimulai beberapa saat sudah ada yang komplain karena merasa juri yang menilai burungnya terlalu pelit/lambat hitungannya, di saat yang sama menganggap ada juri yang menilai burung lawan terlalu murah.

 

PHOENIX Makanan Love Bird Multivitamin. Berikan yang terbaik untuk love bird kesayangan Anda, menjadik burung selalu sehat dan rajin bunyi. Mudah diperoleh di kios-kios terdekat.

 

Menurut Aldo, perbedaan hitungan (ketukan mulut) antar satu orang dengan yang lainnya memang sulit dihindari. “Saya kira itu kelemahan yang melekat pada manusia. Mau pakai alat bantu stopwatch atau dengan gaget yang sudah ditempeli sistem IT pun, tetap ada kelemahan karena bisa saja terlalu cepat atau terlambat beberapa detik saat harus pencet tombol star dan end-nya.”

Setidaknya dengan situasi yang tenang dan relatif bebas dari tekanan, juri bisa semakin fokus. Pola hitungan ‘ketukan’ dengan mulut antara satu juri dengan yang lain akan bisa semakin mendekati sama. “Kami yakin hasil akhirnya akan lebih baik, lebih adil, lebih fairplay. Jujur, selama ini tekanan yang begitu kuat dan keras dari peserta, sangat mempengaruhi mental juri. Hasinya jadi kurang presisi. Setelah ini, model baru ini akan terus kami coba dan uji diterapkan di event-event berikutnya. Kami tetap siap menerima kritik dan masukan demi untuk terus memperbaiki sistem penilaian lovebird di tempat kami.”

Dari beberapa poin di atas. Aldo dan banyak rekan-rekan di RGN pun menyimpulkan, pola baru ini sedikit banyak ikut berperan menjadikan kelas lovebird umum bisa berlangsung lebih kondusif, tidak lagi ricuh.

“Tanpa mengabaikan faktor lainnya tentu saja. Team keamanan dari Lanud serta pemandu acara atau MC yang bekerja sangat baik, juga sangat membantu kami.”

Lalu apa pendapat dari lovebird mania terkait model penilaian baru RGN ini?

 

ARI BEJO (KANAN) BERSAMA PAPA MUDA (dok. dunia kicau)

 

Ari Bejo dari Banjarnegara, mengaku memberikan apresiasi, meskipun belum bisa menyimpulkan apakah cara baru ini memang lebih baik dan presisi dari model yang sebelumnya. “Lepas dari kelemahan yang mungkin belum bisa sepenuhya dihindari, karena memang baru pertama kali diterapkan, saya tetap apresiasi kepada EO yang berani untuk mencoba hal-hal baru yang diniatkan untuk hasil yang lebih baik.”

Menurut Ari, setiap sistem memang punya keunggulan dan kekurangan. “Ada sisi keuntungan, karena satu burung akan dinilai dua kali oleh juri beda. Ada peluang bagi peserta lebih mendapatkan keadilan. Boleh jadi juri yang pertama pelit, siapa tahu yang ke dua lebih murah hati. Ada harapan lah setidaknya.”

Dari sisi peserta, cara baru ini ada titik ruginya juga, karena pas jeda rotasi, kalau pas burung bunyi kan hangus tidak dinilai. “Selain itu, kita juga tidak bisa mantau atau lihat langsung coretan juri sebagaimana kalau pakai stik. Baru bisa mencocokkan hasil hitungan juri dengan kita, setelah penailaian berakhir, juara sudah diumumkan. Mau protes keras, mungkin marahnya sudah telanjur luntur. Yang terakhir ini mungkin sisi-sisi yang menguntungkan panitia.”

 

PRIYO GENDUP RHN, PR BUAT EO BIAR PEMAHAMAN JURI MENDEKATI SAMA

 

Pendapat yang sama datang dari Priyo Gendup RHN Salatiga. Priyo mengaku tidak masalah dengan sistem baru ini. “Sebenarnya mau pakai sistem apa pun, yang penting itu juri menilai dengan jujur, mengedepankan hati nurani. Catatan atau masukan lain yang penting, untuk sistem penilaian dengan metoda menghitung, adalah pemahaman terhadap pakem yang antara juri satu dengan yang lain banyak yang belum sama, atau setidaknya mendekati sama. Itu saya kira PR yang jauh lebih penting bagi para EO yang masih menerapkan penilaian lovebird dengan metoda menghitung durasi, seperti RGN.”

Gendup lantas memberikan contoh pada burungnya. “Burung sama, penampilan juga relatif sama, tetapi saat dinilai oleh team juri yang beda, hasilnya ternyata beda jauh. Di lapang A burung saya tampil mewah, tidak masuk. Di Lapang C tampilnya bisa dikatakan serupa, ternyata bisa masuk juara. Saya mencoba berpikir positip saja, ini lebih karena pemahaman atau tafsir terhadap pakem antara satu juri dengan juri yang lain belum mendekati sama. Misalkan, kapan memulai dan menghentikan hitungan penilaian. Ada yang saat kerapatan ngekeknya merenggang, seperti ngetik, tetap lanjut hitung, ada yang dihentikan. Kalau pemahamannya terhadap hal-hal mendasar seperti ini masih beda, hasil hitungannya pasti beda jauh.”

Seperti halnya Ari Bejo, Gendup juga merasa perlu memberikan apresiasi untuk RGN yang berani mencoba melakukan hal-hal baru. “Kelemahan tentu ada, kritik juga akan ada, terutama dari yang merasa dirugikan oleh cara baru ini. Tetapi kita memang harus tetap berani terbuka untuk melakukan inovasi.”

Selain memberikan "pekerjaan rumah" atau PR kepada para EO agar pemahaman terhadap pakem penilaian lovebird diperbaiki, agar bisa mendekati sama, Gendup juga berharap supaya poin kualitas burung bisa dimasukkan dalam penilaian.

“Selama ini kalau hanya mengandalkan hitungan, burung yang mangap-mangap, volume lemah bahkan cenderung ngriwik saja, dianggap sama dengan burung yang speed-nya rapet, volume kenceng, dan durasi panjang. Burung ketegori pertama bisa mengalahkan kategori ke dua yang secara kualitas lebih unggul, hanya karena lebih rajin bunyi saja. Itu harapan saya sebagai pemain lovebird, bagaimana caranya supaya penilaian model hitungan ini tetap bisa mengakomodasi agar burung kualitas diberi bobot lebih.”

 

Apapun problem "bunyi" pada burung Anda, dari mulai MACET sampai hanya mau tampil angot-angotan, berikan MONCER-1, tunggu beberapa hari, langsung JOSS.

 

Dimintai tanggapannya secara terpisah, Ari Bejo maupun Gendup mengaku ikut bersyukur karena kericuhan di kelas umum yang sempat dikhawatirkan, ternyata tidak terjadi. “Ya seneng sekali, ikut lega. Kalau sampai ricuh, selain ikut malu, kesannya jelek pada semua penghobi lovebird khususnya lovebird konslet, juga bisa menjatuhkan pamor hingga ujung-ujungnya kelas lovebird jadi sepi, terus pasarnya juga ikut turun. Marilah kita jaga bareng-bareng. Komplain atau kurang setuju dengan hasil penjurian boleh saja, tapi sampaikan dengan cara yang baik,” pinta Gendup.

Apakah hal ini (tidak adanya kericuhan), karena peran cara baru yang mengganti stik yang lebih terbuka dengan mencoret kertas yang tertutup, menurut keduanya memang masih perlu pembuktian lagi.

“Kalau saya secara pribadi, event Piala Pasundan 4 bisa berlangsung lebih lancar, cenderung tertib termasuk nyaris tidak ada saling tunggu saat mau menggantang, lebih karena faktor penjagaan keamanan yang ketat dan berlapis, termasuk kolaborasi yang baik dengan MC handal seperti Samuri dan Abenk. Saya kira faktor keamanan memang penting untuk kelancaran lomba, apalagi kalau lomba akbar. Tanpa didukung keamanan yang baik, ya akan banyak kendala. Beberapa jenis burung yang bisa dibilang partai keras, seperti lovebird dan murai batu misalnya, memang perlu mendapat perhatian lebih,” tandas Ari.

Penggunaan dua lapis pagar, lalu hanya memberikan ruang untuk para peserta yang memegang tiket hanya dari satu sisi lapangan untuk memantau burung, memang sempat menimbulkan kecurigaan bagi sejumlah pihak.

“Bukan semata kami jadi tidak bisa menikmati dan memantau burung dengan baik kalau jaraknya begitu jauh. Dengan model ini kami hanya bisa pasrah saja, menyerahkan semua hasil pada team juri. Kalau ada juri nakal misalnya, kami juga tidak bisa mengontrol dengan baik, serem pokoknya ini seting lapangnya. Semoga saja jurinya kali ini baik-baik,” ujar salah satu peserta yang mengaku datang dari jauh.

 

Yang di desa, di kota. Yang ikut lomba atau sekadar didengar suaranya di rumah. Dari generasi ke generasi sudah memakai TOPSONG.

 

Kicaumania muda yang beberapa kali sukses menggelar event akbar lintas EO itu bahkan merasa perlu menggarisbawahi, ”Saya kira meski dua pagar, kami tetap bisa memantau dari semua sisi lapang, ternyata salah. Kalau tahu seting lapang kayak gini, ya pilih di rumah saja tidur. Ngapain jauh-jauh tidak tidak bisa lihat burung kita kerja atau tidak, juga tidak bisa ngontrol juri mantau burung dengan baik apa tidak.”

Seting lapangan yang dianggap kurang ramah pada peserta, didukung keamanan yang ketat dan berlapis, memang membuat jalannya lomba bisa lebih lancar. Lomba yang dimulai sekitar pukul 10 pagi dan berakhir jam 18.00 itu bisa menyelesaikan 21 sesi. Dari peserta mulai masuk, burung dinilai, hingga peserta keluar lapang, tiap sesi rata-rata memakan waktu 20 menit.

Sekjen RGN dan Prio Sustrisno selaku Ketua Umum dan Owner Radja Company, badan usaha yang menaungi RGN, menepis kecurigaan sebagian kicaumania.

 

 

“Kami ingin menjelaskan bila konsep atau seting lapangan sebenarnya tidak kami maksudnya untuk menjauhkan kontrol peserta terhadap burung mereka. Apalagi sampai ada niat buruk supaya bisa nyeting atau ngatur juara siapa, tanpa ketahuan oleh peserta lainnya. Bahwa ada yang curiga atau menafsirkan seperti itu, ya silakan saja, itu hak mereka. Mari kita ikuti dulu semua tahapan lomba sampai selesai, biar penilaian atau anggapan juga bisa lebih fair, tidak hanya didasari dugaan-dugaan saja,” ujar Asep.

Sementara itu, Prio juga menegaskan bila pada dasarnya, semua EO itu, termasuk RGN tentu saja, pengin lombanya sukses baik secara peserta maupun dari sisi penilaian. Dari sisi EO atau penyelenggara, semua pengin lomba bisa berlangsung fairplay, hasilnya bisa diterima oleh semua pihak, baik menang maupun terutama yang kalah.

“Selama ini, kami dari RGN juga tidak pernah mengklaim atau sesumbar team juri kami paling baik, paling fairplay, tetapi kami selalu berusaha intropeksi diri. Kami selalu membina para juri, juga memberikan sanksi secara bertahap bila ada oknum yang terbukti melakukan kekeliruan baik secara teknis maupun etis. Silakan saja, kalau melihat ada sesuatu yang janggal di semua event RGN, jangan sungkan memberikan masukan kepada kami. Pasti tindak lanjuti.”

 

PIALA KOTA KEMBANG 3 (8/11). Satu-satunya event yang menerapkan "JURI NAKAL PECAT DI TEMPAT". Rebut 1 unit mobil, 3 motor, dan hadiah menarik lainnya. Hubungi GUGUN 0823-1518-4497. BROSUR DAN JADWAL PIALA KOTA KEMBANG 3KLIK DI SINI

 

Konsep lapangan yang dianggap tidak ideal oleh banyak peserta itu, menurut Prio lebih karena kondisi saat ini yang belum mereda dari pandemi covid-19. “Mohon maaf, menggelar event akbar dalam situasi pandemi itu tidak mudah. Kami akhirnya dapat ijin, tetapi dengan persyaratan yang ketat untuk memastikan semua protokol kesehatan bisa diterapkan dengan baik, termasuk lomba harus selesai jam 18.00.”

Nah, konsep dua pagar, termasuk penyekatan dan penjagaan yang ketat baik di dalam lapang maupun di luar lapang, menurut Prio adalah bagian dari konsep besar menggelar lomba akbar tetapi tetap dalam koridor protokol kesehatan.

“Jadi mohon maaf, kenyamanan memang berkurang, sebagaimana juga semua aktivitas dan mobilitas masyarakat lainnya, tapi semua itu demi kepentingan yang jauh lebih besar dan penting, menjaga kesehatan dan keselamatan kita bersama,” tandas Prio lagi. [anton kendor, asept, denny, maltimbus]

 

DATA JUARA PIALA PASUNDAN 4, KLIK DI SINI

 

KATA KUNCI: piala pasundan 4 prio sutrisno ari bejo priyo gendup rhn salatiga

MINGGU INI

AGENDA TERDEKAT

Developed by JogjaCamp