Ir. H. AGUS GAMPING DAN WISNU. PENGHARGAAN DAN BANTUAN BREEDING TYTO ALBA
LEBIH DEKAT DENGAN TYTO ALBA / BURUNG HANTU (2)
Meski Tidak Berkicau, PBI Tetap Peduli Karena Manfaat Langsung Untuk Petani
Bila Anda bepergian di daerah yang banyak area persawahan, mungkin sering melihat ada kotak-kotak kecil dengan tiang tunggal, mirip kandang merpati. Itulah yang disebut sebagai Rubuha, alias rumah burung hantu.
Para petani sengaja “memelihara”, dengan maksud untuk membantu mengendalikan hama tikus yang berpotensi membuat gagal panen. Serangan tikus, yang jumlahnya bisa ribuan, memang akan membuat area sawah yang luas porak poranda.
Upaya memelihara dan menjadikan burung hantu sebagai sahabat petani, sebenarnya bukan hal baru. Dengan berjalannya waktu, bertambahnya pemahaman dan pengetahuan, tentu ada sejumlah inovasi agar perkembangbiakannya lebih baik. Selain itu, mengenali karakter Tyto Alba / burung hantu juga akan membuat tujuan mengendalikan hama tikus bisa lebih efektif.
Adalah Wisnu, pegiat di PBI (Pelestari Burung Indonesia) Cabang Sukoharjo, Jawa Tengah, yang sudah beberapa tahun terakhir aktif melibatkan diri dalam pengembangbiakkan Tyto Alba. Secara umum, PBI lebih dikenal sebagai organisasi yang menaungi para penggemar burung berkicau. Selain urusan pelestarian (burung), PBI juga lebih dikenal oleh masyarakat luar dengan aktivitas menggelar lomba / pameran burung berkicau.
WISNU SUKOHARJO DAN ANAKAN TYTO ALBA. SIAP DILEPASLIARKAN
Bila mendasarkan pada pemahaman itu, tentu saja tidak ada hubungan antara hobi burung berkicau dengan Tyto Alba, yang tidak bisa berkicau. Meski bisa mengeluarkan suara, tapi sama sekali tidak merdu dan tidak bisa dinikmati.
Mengapa Wisnu merasa perlu melibatkan diri dalam pengembangbiakkan Tyto Alba?
“Pertama karena ada kepedulian ingin ikut membantu para petani. Di pinggiran kota Sukoharjo itu membentang area persawahan yang luas, saya tahu persis kalau pas kena serangan, benar-benar bisa membuat gagal panen. Daya rusak tikus yang habitatnya di bantaran dan lereng-lereng sungai itu sangat menyeramkan,” ujarnya mengisahkan.
Di Sukoharjo dan sekitarnya, mengembangbiakkan Tyto Alba dengan memasang Rubuha di persawahan, sudah dilakukan cukup lama. “Sebagai orang yang punya pengalaman lama mengurus perawatan burung, termasuk breeding, saya ingin bisa membantu supaya apa yang sudah berjalan itu bisa lebih baik lagi,” ujarnya saat ditemui di sela-sela Rakerda PBI Jateng-DIY, Minggu 8 Desember 2024.
Memang, yang selama ini dirawat oleh Wisnu sejak ia masih kecil, lebih ke jenis-jenis burung berkicau. “Tapi itu bekal yang sangat baik dalam memahami karakter burung, termasuk Tyto Alba, hal yang ternyata kurang dicermati oleh teman-teman di komunitas yang selama ini aktif mengembangkan burung hantu, dengan dukungan dari dinas terkait tentu saja.”
Setelah dirinya masuk dan mencoba memberikan masukan, ternyata memang membuat perkembangan nyata. “Setelah saya bergabung, dengan beragam masukkannya, perkembangbiakkan jadi semakin baik. Teman-teman di komunitas, juga dari dinas, makin semangat. Jumlah Rubuha terus bertambah, sekarang di kisaran 300an, dan akan terus bertambah.”
TYTO ALBA, BURUNG PALING TIDAK MANDIRI
Tyto Alba, mungkin jenis burung yang paling tidak mandiri. Membuat sangkar / rumah sendiri tidak mampu. Selama ini, Tyto Alba hidup dengan menumpang di plafon rumah, terutama yang tingkat / termasuk gedung-gedung sekolah atau milik pemerintah yang lainnya.
Keberadaan Tyto Alba di plafon rumah atau gedung, dikeluhkan oleh pemilik atau penghuni, karena dianggap mengganggu dan cenderung merusak. “Caranya masuk itu unik. Pertama, Tyto Alba akan merusak atap atau genting, dengan cara menggeser-geser genting hingga bocor. Setelah beberapa waktu, plafon di pagian emperan rumah / gedung akan jebol. Lubang itulah yang menjadi jalan masuk/keluar Tyto Alba,” jelas Wisnu.
Tyto Alba tidak tiap hari masuk ke plafon, atau Rubuha bagi yang sudah menempatinya, tapi hanya ketika kawin, bertelur, mengerami, hingga meloloh anaknya. Kesehariannya hidup di atas pohon-pohon, daya jelajahnya bisa 10an kilometer dari “rumah” tempat tinggalnya.
Tyto Alba juga tidak membuat sarang. Ia akan bertulur di atas papan / plafon, atau lantai Rubuha begitu saja. Telurnya bisa sampai 6 butir. Meski menetas semua, namun yang akhirnya bisa tumbuh maksimal, biasanya hanya 2 ekor saja. Selebihnya, bisa mati, kalau pun hidup posturnya tidak bisa maksimal, kurang tangkas, karena malnutrisi, asupan pakan dari induk tidak bisa merata dan cukup untuk membesarkan sampai lebih dari 2 ekor.
TYTO ALBA DAN ANAKANNYA DI RUBUHA. NYAMAN DI SUDUT / MENEMPEL ATAP
“Saya juga mengamati dan mempelajari bagaimana mereka ketika hidup, mengerami, meloloh anakannya, selalu di ujung atau pojok plafon, seperti sengaja merapat atau penempel ke bagian atap atau genting yang miring di ujung plafon. Dari sinilah muncul ide membuat Rubuha berbentuk segi 3, bukan kotak segi 4 atau 5 seperti yang sudah banyak dibuat sebelum-sebelumnya.”
Tugas mengerami dan mengurus anakan, hanya dilakukan oleh si betina. “Tapi yang jantan akan selalu berjaga, berada di luar, di pepohnan tidak jauh dari si betina. Secara periodik datang “menengok”, untuk mengirimkan makanan hasil buruan.”
Setelah berjalan dengan baik, tahun 2023 yang lalu Wisnu melaporkan kegiatan ini pada organisasi yang sudah puluhan tahun menaunginya, Pelestari Burung Indonesia (PBI). PBI Pengda Jateng-DIY, lewat ketuanya, Ir. H. Agus Gamping, ternyata memberikan dukungan penuh.
“Pemahaman dan pengertian Pelestarian dari masyarakat pada PBI selama ini kurang pas, terlalu sempit, dikiranya hanya sebatas mengurusi burung berkicau yang kemudian pemanfaatannya untuk kegiatan lomba saja. Padahal, program utama PBI justru pada pelestariannya. Maksud pelestarian itu sangat luas, mencakup pelestarian lingkungan secara umum, bukan semata pada semua jenis burung endemik, bahkan pada jenis tanaman pun PBI sangat peduli,” ujar Ir. H. Agus Gamping, di sela-sela Rakerda pada Minggu 8 Desember 2024 di Yogyakarta.
“Alhamdulillah, dari Pengda Jateng-DIY benar-benar memberikan dukungan nyata. Dukungan itu sudah kami terima sejak tahun 2023 yang lalu. Bukan sebatas narasi dan selembar surat penghargaan, tapi juga bantuan untuk membuat Rubuha serta perawatan anakan hingga bisa dilepasliarkan, yang lumayan memakan biaya,” tutur Wisnu.
AWAL MULA MENDAPATKAN BIBIT TYTO ALBA DAN MEMBESARKANNYA
Dengan mengetahui indukan Tyto Alba hanya mampu membesarkan 2 anakan dengan baik, maka bila anaknya lebih dari 2, sisanya akan diambil untuk dibesarkan di aviary. “Kira-kira 2 minggu setelah menetas, anakan kita ambil, lalu dibesarkan di luar, di aviary. Untuk bibit awalnya, kita cari anakan dari plafon rumah penduduk atau gedung-gedung pemerintah.”
Anakan yang lahir di Rubuha, juga diberlakukan sama, hanya disisakan 2 ekor, selebihnya diambil. Perawatan itu berlangsung sampai umur sekitar 6 minggu, sampai burung Tyto Alba muda mulai bisa terbang, juga sudah bisa menangkap tikus yang masih hidup. Burung siap dilepasliarkan dengan cara dibawa atau dimasukkan ke Rubuha yang sudah disiapkan.
“Kita masukkan sepasang, lantas pintu ditutup dulu dengan kawat ram. Selama dua minggu, pakan kita pasok ke Rubuha. Pakannya ya daging tikus.”
Setelah semua proses itu dilalui, barulah pintu Rubuha dibuka, dan membiarkan Tyto Alba hidup secara bebas. “Setelahnya terus kita pantau, nantinya pada musim kawin, bila datang lagi untuk kawin, bertelur, menetas, juga akan kembali diambil sebagian anakannya, disisakan 2 ekor saja yang dipelihara oleh indukan.”
PULUHAN RUBUHA BANTUAN DARI PBI PENGDA JATENG-DIY SIAP DIPASANG
Merawat dan membesarkan anakan Tyto Alba bukan hal yang mudah dan sederhana, karena Wisnu dan kawan-kawan harus mencari dan menyediakan pakannya, yaitu tikus. Mungkin kita sering melihatnya, tapi ketika butuh bukan berarti mudah mendapatkannya, di pasaran juga tidak ada yang jual.
“Bagian yang sulit itu mencari tikus hidup yang ukurannya tidak terlalu besar, sebab itu untuk mengajari Tyto Alba menangkap dan memangsa tikus yang di alam bebas. Ketika masih kecil kan kita kasih daging yang sudah dicacah. Tapi semua itu sekarang sudah ada team yang mengurus, sistem juga sudah jalan dengan baik.”
Apakah di sawah-sawah yang populasi burung hantunya sudah cukup banyak, Rubuha sudah terpasang, dengan begitu otomatis aman dari potensi serangan tikus? Ternyata belum jaminan.
Bagaiamana agar Tyto Alba yang sudah dikembangkan itu dengan puluhan Rubuha terpasang di atas area persawahan, bisa efektif mengendalikan hama tikus, bagaimana bila ada (kelompok) petani ingin mempelajari dan mendapatkan bibit Tyto Alba? Simak pada artikel berikutnya. [maltimbus]
BARU... GANTANGAN MODERN DI JOGJA, G-24 DAN G-36, BY H. SAMSULHADI / PBI BANTUL
BERITA LAINNYA
KATA KUNCI: pbi pengda jateng-diy pbi cab sukoharjo ir h agus gamping wisnu sukoharjo tyto alba burung hantu tyto alba sahabat petani pbi peduli tyto alba pbi peduli lingkungan pbi pengda jateng-diy peduli tyto alba penangkaran tyto alba program unggulan pb