H SIGIT WMP DAN FERRY YONG, PENILAIAN LH HARUS KEDEPANKAN KUALITAS

MENCARI PAKEM PENILAIAN LOVE BIRD YANG ADIL DAN PATEN, #1

Bunyi Ngetik atau Suara Lirih Tidak Dinilai, Apa Kata Ferry Yong dan H. Sigit WMP?

Belakangan ini, love-love bird dengan suara ngetik, atau bunyi tapi lirih nyaris tak terdengar, cenderung tereliminir dari persaingan. Padahal, bikin love bird bunyi itu sulit, meskipun ngetik atau lirih,  masa tidak dihargai, begitu sebagian pendapat. Mau tahu pendapat tokoh dan sesepuh love bird Ferry Yong dan H. Sigit WMP?

Kritik terhadap laku penilaian love bird dengan cara menghitung poin dari kerajinan dan durasi sesungguhnya sudah sangat sering dikemukakan. Banyak pola penilaian yang dianggap mengabaikan kualitas, seperti volume, bahkan durasi. Hal ini dikeluhkan oleh banyak love bird mania yang ingin kekeh berpatokan pada kualitas.

Dalam kurung waktu yang cukup lama, burung yang gacor atau rajin, meskipun durasi pendek, volume lirih, bahkan hanya ngetik, bisa jadi juara, mengalahkan burung dengan volume terdengar jelas, durasi lebih panjang, meskipun frekuensi bunyi lebih sedikit, atau ada jeda waktu / ngetem lumayan lebih lama.

 

 

Hari ini belum pakai TWISTER? Segera merapat di kios-kios / agen terdekat, bila belum ada mintalah untuk menyediakan, biar Anda dan para kicau mania lainnya lebih mudah mendapatkannya. Coba dan buktikan kualitasnya, dan berikan respon melalui hotline 08112663908.

 

Pola penilaian seperti ini yang kemudian dianggap menjadi salah satu sebab kelas love bird menjadi berkurang peminatnya. Di luar faktor kelemahan bawaan, karena penghitungan sebagian besar berdasarkan ketukan mulut, atau perasaan si juri. Tidak atau belum ada standar yang baku.

Kalau secara kualitas dan perfoma burung di gantangan yang sama cenderung merata, tidak ada yang benar-benar menonjol sekali dari lawan-lawannya, juara lebih ditentukan karena faktor hoki. Bila beruntung, kebetulan dapat juri yang baik hati, hitungannya lebih cepat, ya peluang juara lebih gede.

Itu dengan asumsi kita berpikir posotif, mengabaikan faktor X yang sering dituduhkan pada korp juri.

Beberapa event mencoba memanfaatkan IT, dengan teknologi stopwatch yang sudah  terdigitalisasi dan memanfaatkan gaget, tetapi tetap belum bisa lepas dari kelemahan. Bisa karena teknikal, seperti jaringan internet yang lemah. Bisa juga karena kelemahan bawaan si juri selaku operator, dia bisa terlalu cepat atau terlambat saat memencet tombol start dan end.

 

 

Ferry Yong dari Kurnia BF Banjarnegara, yang juga dikenal kerap mengorbitkan sejumlah burung prestasi, terpantau sering mengkritisi penilaian yang cenderung mengabaikan faktor kualitas lewat akun facebooknya. Ia mengaku kerap keki, saat melihat ada burung yang setelah bunyi normal ada jeda ngetik, tapi perhitungan tetap jalan terus, tidak dianggap berhenti. Atau yang  suara lirih nyaris tak terdengar, tetap dinilai, sama dengan yang bunyi normal.

“Juri hanya melihat paruh bergerak membuka dan menutup, atau ekor yang bergerak-gerak, itu sudah dianggap bunyi, tidak mau berusaha mendengarkan apa suaranya sampai ke telinga dia atau tidak. Sebenarnya tidak terlalu menyalahkan juga, mungkin karena yang lebih dominan terdengar suara teriakan dari para pemiliknya.”

Dalam banyak event, pemilik dan suporternya terus saja meneriakkan nomor gantangannya, tak peduli apakah itu ngetik atau suara burungnya pelan sekali. Boleh jadi, hal itu memang disengajat untuk menutupi kelemahan burungnya. “Jujur saja, yang model begini yang membuat kita jadi males. Makanya lihat-lihat dulu EO-nya, karena dari gelaran-gelaran sebelumnya kan kita bisa menilai, bagaimana mereka menerapkan pakem di lapangan,” imbuh Ferry Yong.

 

 

Secara pribadi, Ferry mengaku lebih suka dengan penilaian kembali ke model rekap seperti yang masih konsisten dilakukan PBI dan mungkin beberapa EO lainnya. “Karena lomba burung itu seni, bukan matematika.”

Belakangan ini, seiring dengan kembali maraknya kelas love bird, sepertinya mulai terbangun kesadaran baru untuk kembali mengedepankan soal kualitas. Burung-burung yang suararnya lirih, atau kerap ngetik, atau bunyi normal dan rajin, tapi durasi pendek-pendek, akan tereliminasi dengan sendirinya.

Berita baiknya, kesadaran baru itu muncul dari dua pihak, dari EO atau team juri, juga dari peserta. Boleh jadi, ini juga karena sekarang banyak burung-burung yang secara perfoma dan kualitas bagus. Sudah gacor atau rajin bunyi, volumenya dapat, durasinya juga relatif panjang.

 

 

Lalu, apakah burung yang bunyi ngetik, atau yang suaranya lirih nyaris tak terdengar, kemudian yang volume cukup tapi durasi pendek, tidak akan lagi kepakai atau sama sekali tidak dihargai?

“Kalau memang banyak yang lebih bagus, misalnya di ambil 10 burung, sudah ketemu lebih dari 10 burung yang memenuhi kriteria dari sisi volume, durasi, kerajinan, ya berarti yang kurang volumenya, atau  sering keluar bunyi ngetik, otomatis akan tersisih. Itu sudah hukum alam kompetisi ya. Kecuali kalau dalam satu lapang tidak nemu yang lebih baik, ya terpaksa yang rajin tapi durasi pendek, atau bahkan yang suara lirih, bahkan burung yang hanya bunyi ngetik, bisa juara juga. Kan lomba mencari yang terbaik pada saat itu,” ujar H. Sigit WMP, tokoh kicaumania yang oleh para love bird sering dijuluki sebagai suhu.

Ia lantas mencontohkan bagaimana love bird seperti Peterson yang rajin bunyi dengan volume yang memadai, artinya terdengar jelas dari titik juri manilai, durasi pun dari luar tampak rapat dan panjang-panjang, tetap terlempar dari persaingan saat turun di Klaten Vaganza (19/7/2020).

“Ini  saya ngomong soal kelemahan burung milik saya sendiri ya. Kenapa bisa kalah, karena meskipun terlihat lebih panjang dan rapet tapi saya melihat ada ngetiknya dan saya menyadari itu. Jadi kalau pas ngetik itu penghitungan dihentikan, durasi yang normal ada sekitaran 20 detik. Meski kalau kondisi pas, durasinya lebih. Sementara musuh-musuhnya, sama-sama rajin dan volume terdengar jelas, banyak yang di atas 30, 40 detik, bahkan ada 60 detik up. Ya mau dinilai dengan model apa pun, seharusnya memang kalah. Jadi bahwa ia pernah juara di event-event lain sebelumnya, tidak bisa dijadikan patokan,” imbuhnya.

 

Sebagai obat, terbukti efektif. Sudah sering mampu mengatasi kondisi kritis, apalagi cuma sakit "biasa". Di saat perubahan musim dari kemarau menuju penghujan seperti sekarang, juga sangat baik untuk mencegah dan menjaga agar burung tetap sehat dan selalu dalam kondisi fit, siap tempur. Bisa diberikan secara rutin 2-3 hari sekali sesuai kebutuhan. LEMAN'S, satu-satunya obat burung dengan formula + vitamin.

Lemans bisa dibeli lewat bukalapak, tokopedia, atau hubungi 08113010789, 0822.4260.5493 (Jatim Tapalkuda), 0813.2880.0432 (Jogja dan sekitar), 0815.4846.9464 (Solo Raya dan sekitar), 0813.2799.2345 (Banyumas dan sekitar)

 

Menurut H. Sigit, bila volume sudah dapat, maka durasi semestinya diberi bobot yang lebih tinggi daripada kerajinan. “Coba kita buat model penilaian yang disederhanakan, misalnya ada love bird yang bunyi 30an detik 3 kali, terus ada yang 40 detik bunyi dua kali, dan ada yang hanya bunyi satu kali tapi lebih panjang, 60 detik. Siapa yang berhak jadi juara 1, 2, dan 3?”

Bila mengacu pada “pakem penghitungan lama” yang cenderung lebih mengedepankan pada kerajinan dan total durasi, maka burung yang bunyi 30 detik akan jadi juara 1 (total 90 detik), yang bunyi 40 detik juara ke-2 (total 80 detik), dan yang bunyi sekali 60 detik harus puas di posisi ke-3.

“Tetapi kalau kita sepakat ingin lebih mencari burung kualitas, durasi semestinya kita beri bobot lebih tinggi dari sekadar rajin. Catatannya, volume sudah masuk atau memadai. Ini terlepas apakah itu masuk kelas fighter, konslet, atau istilah lainnya. Saya kira kalau mau ngomong soal kualitas, kriteria relatif sama, mulai volume dan durasi, baru kerajinan dan kemudian gaya sebagai pendukung saja.”

 

Yang di desa, di kota. Yang ikut lomba atau sekadar didengar suaranya di rumah. Dari generasi ke generasi sudah memakai TOPSONG.

 

Dengan lebiih fokus pada kualitas, burung yang bunyi sekali tapi bisa tembus 60 detik, bisa mengalahkan yang bunyi 3 kali tapi rata-rata hanya 30 detik, juga yang bunyi dua kali tapi 40 detik. Urutan juaranya bisa kebalik, juara 1 yang bunyi sekali, juara ke-2 yang bunyi 2 kali, dan posisi ke tiga ditempati yang bunyi 3 kali.

Bagaimana untuk durasi penilaian yang sesungguhnya, misalnya 10 menit?

“Tentu bisa kita disikusikan bersama, biar setidaknya ada standar yang saling mendekati antar satu EO dan EO yang lain. Demikian pula soal metode atau cara melakukan penilaian, tidak harus sama. Mungkin bisa mengadopsi dengan yang dikembangkan oleh teman-teman di Dewa 99 atau EO lain di Jawa Timur, juga yang dikembangkan LIBAS melalui oleh om Oyong di Malang atau om Ade Jalal di Bandung, atau yang model rekap seperti PBI, dan cara lainnya. Yang penting adalah konsep dasarnya itu mencari kualitas.” [maltimbus, bersambung ke bagian #2]

AGENDA & BROSUR LOMBA, KLIK DI SINI

 

 

KATA KUNCI: mencari pakem penilaian love bird yang adil dan paten ferry yong h. sigit wmp

MINGGU INI

AGENDA TERDEKAT

Developed by JogjaCamp