SISTEM BISA MENUTUP RUANG GERAK JURI MAIN MATA DENGAN PESERTA

JURI BICARA TENTANG JURI YANG JUJUR DAN SPORTIF

Banyak Lomba Belum Mendukung Iklim Fair Play, Ciri-Cirinya Mudah Dikenali

Belum lama, burungnews menuliskan kisah juri yang dianggap masih menjunjung fair play, menolak membagikan nomor rekening, ujungnya masih memenangkan burung peserta yang tidak (jadi) kasih odeng. Masih cukup banyakkah stok juri seperti ini?

Menariknya, sumber cerita ini datangnya bukan dari pengakuan atau klaim sang juri, (hampir semua juri mengklaim kalau menilai sesuai fakta lapangan). Cerita justru datang dari peserta yang awalnya punya niat memberikan “proyek” untuk memenangkan burung miliknya.

Beruntung, akhir kisahnya membahagiakan. Burung si pemberi proyek tetap juara, bahkan dua kali termasuk di kelas utama, kendati ajakan kongkalikong atau kolusinya ditolak oleh para juri yang dihubungi sejak sehari sebelum lomba digelar.

Hampir semua juri yang pernah ditanya terkait hasil penjurian, akan menjawab secara normatif, dan terkesan jaim (jaga image). Baik itu pertanyaan seusai menancapkan bendera koncer, bahkan saat ngobrol-ngobrol santai di luar jam bertugas.

 

BARU... TOPSONG PREMIUM, mengandung enzim alami serangga, burung lebih gacor, daya tahan lebih tinggi. Tersedia TOPSONG PREMIUM ANIS MERAHMURAI BATUHWAMEY (PREMIUM GOLD), LARK / BRANJANGANMINI PELETBEO.

Segera dapatkan di kios langganan Anda, buktikan perbedaannya.

 

Pertanyaan paling sering, dan jawaban dari banyak juri yang berbeda, nyaris sama atau senada. “Burung siapa itu om yang juara?”

99 persen juri yang ditanya akan langsung menjawab spontan, tanpa terlihat berpikir. “Wah, tidak tahu.” Si juri juga akan berusaha terus ngeloyor jalan cepat ke ruang juri, menghindari pertanyaan lebih mendetail.

Padahal di luar pagar, sudah berseliweran gosip dan “prediksi” yang disebutnya sebagai A-1. “Lihat itu, juaranya pasti nomor itu, perhatikan langkah dan arah pantauan juri, lihat juga itu ada tanda di sangkarnya, bahkan sangat jelas kasat mata karena pakai sangkar custom. Tidak ada yang menyamai. Sudahlah, asal burung kerja, tidak ngedrop banget-banget, asal main aman saja, pasti pada berani mati itu kasih A.”

“Prediksi” atau lebih tepatnya gosip itu ternyata benar adanya. Burung, yang secara kualitas dan perfoma sebenarnya ada yang lebih layak (bahkan banyak), tetap dapat koncer A terbanyak. Meskipun tidak mutlak, tetap jadi juara 1 tanpa perlu adu tos. Kinerja team juri tampak sangat “rapi” dalam mengatur dan membagikan koncer.

 

ODENGAN, SEKARANG TIDAK MAIN ANGPAO, MESTI TRANSFER DI DEPAN

 

Sumber burungnews yang kali ini membagikan cerita, punya jam terbang dan karir yang lengkap, merangkak benar-benar dari bawah. Mulai melombakan burung milik sendiri meskipun kelas tarkam, jadi pekatik/perawat hingga joki bos besar, bergabung jadi juri gantangan rutin, naik pangkat menjadi “striker”, akhirnya direkrut dan bergabung menjadi juri salah satu EO.

Dari pengalamannya, ia mengaku tahu persis bagaimana juara itu biasa diatur. “Mohon maaf, tentu saya tidak bisa menunjuk si A, si B, atau ciri-ciri yang mengarah pada mereka, juga bagaimana alur pengaturannya secara detil.”

Yang jelas, begitu ia menegaskan, model pengaturan juara itu sudah lazim terjadi hampir di semua lomba, semua EO, bahkan juga di gantangan rutin level Latber-Latpres. Makin besar dan akbar sekala lomba, makin rawan pengaturan juaranya.

“Saya sedikit buka saja ciri-ciri burung atau jagoan yang sedang berada dalam kawalan. Relatif ada kesamaan. Saya bisa cerita karena pernah jadi striker, jadi penghubung dengan orang dalam atau team juri, hingga setelah jadi juri tentu saja ya ikut jadi bagian team internal dari para juri tersebut.”

 

 

Menurutnya, cukup mudah saja mengamati burung yang akan dikatrol. Tanpa harus dengar beragam gosip sebelumnya, gelagatnya sudah bisa terlihat. “Burung biasanya selalu dapat nomor tengah, padahal katanya tiket diundi, atau sistem gosok, sehingga relatif sulit dipantau lawan atau peserta dari luar gantangan.”

Si joki akan berusaha menaikkan burung di akhir-akhir, setidaknya sampai dia merasa ada juri atau korlap arau petugas lapangan yang bisa jadi penghubung, yang melihat. Satu rekannya yang jadi “striker”, akan berjaga atau menunggu juri saat keluar menuju lapang.

Lihatlah, bagaimana si joki atau si striker begitu “ngeyel”, berusaha membisiki atau memberitahukan nomor gantangan, termasuk tentu saja juga kasih kode ke sang Korlap.

“Itu buat menguatkan saja, takut juri atau Korlap lupa, siapa tahu yang sedang dikawal juga ada beberapa burung lain milik pesaing. Sebenarnya Korlap sudah punya catatan, tingal kroscek nomor gantangan, atau tanda tertentu yang perlu dicermati biar tidak salah pilih lihat tanda.”

 

 

Tanda-tanda lainnya, durasi penilaian juga dibuat lebih pendek dari standar yang seharusnya. Bila kita anggap standarnya antara 8-10 menit, di sesi itu bisa jadi hanya sekitar 5 menit atau bahkan kurang. Begitu dianggap sudah ketemu juaranya, Korlap akan langsung menyatakan penilaian selesai.

Tanda lomba yang kurang mendukung fair play, juga bisa dilihat dari lay out atau penataan gantangan. Panitia akan membuat pagar yang jaraknya cukup jauh dari gantangan. Di atas kertas, peserta akan sulit memantau dengan baik bagaimana perfoma dan kualitas dari burung-burung yang sedang bertarung.

“Amati dengan baik bagaimana Korlap mengatur roling, sampai saat mengambil lembar penilaian. Selain dari membaca bisikan atau gerak bibir, kadang tanpa sadar suaranya agak keras, peserta yang dekat sampai mendengar bagaimana sang Korlap mengarahkan juri untuk pilih A yang mana, B yang mana. Itu sebabnya hasil akhirnya bisa pas dan rapi. Ada yang ditoskan misalnya, ketika ada prediksi dua burung yang mungkin sama-sama kuat pemiliknya, terus team juri cari aman.”

Media juga punya peran penting, secara tidak langsung ikut mengawasi jalannya lomba. "Kalau ada panitia terlalu membatasi akses media, itu juga bagian dari skenario supaya team juri bisa lebih leluasa mengatur kejuaraan."

Di luar itu, kita juga bisa mengamati bagaimana hubungan juri dengan peserta tertentu yang mungkin tampak begitu dekatnya, hingga terlihat kurang lazim. “Coba amati, ketika sang juri sedang tidak bertugas, dia sering jadi pengawal atau striker dari peserta tertentu kan.”

 

Burung yang sebelumnya bunyi tiba-tiba MACET dan memBISU? Berikan MONCER-1 selama beberapa hari, lihat perbedaannya dalam 5-7 hari, dijamin langsung JOSS kembali.

 

Perilakunya sudah tidak ditutup-tutupi lagi. Seperti ikut teriak-teriak nomor gantangan, sering terlihat sangat kental nuansa striker-nya, seperti ikut bisik-bisik ke juri. “Dia menggunakan kekuatannya jadi juri di tempat lain, jadi semacam ada penawaran barter. Sekarang tolong aku dibantu, besuk pas lomba ditempatku pasti gentian aku bantu burungmu. Kira-kira begitu, selain urusan hitung-hitungan uangnya juga akan ikut menyertai.”

Lalu, bagaimana dengan cerita ada juri yang menolak ketika akan diberikan sejumlah uang, ketika ditanya nomor rekening dan akan dikasih fee di depan?

“Menurut saya, orang atau pemilik burung tersebut sangat beruntung. Sepanjang yang saya tahu, hampir semua juri, mohon maaf termasuk saya sendiri, sangat berharap alias ngarep, ada peserta yang menawarkan sesuatu, jelas dan pasti dari awal. Bahkan ketika tawaran itu tidak kunjung datang, ada kok cukup banyak juri yang berani minta atau nembung di depan, atau menagih ketika dianggap nilainya tidak sesuai.”

Menurut sumber burungnewes tersebut, kalau hanya mengandalkan bayaran resmi dari panitia, terlalu mepet alias pas-pasan. “Apalagi kalau lombanya jauh, selain transportasai, kalau lomba sampai malam kita mesti nginap lagi, dan biasanya itu sudah di luar tanggungan panitia.”

 

TWISTER GOLD, salah satu pakan burung yang disebut paling cocok untuk murai batu, hwamey, anis merah, kacer oleh para kicaumania yang sudah mencoba dan kemudian terus memakainya, termasuk untuk jenis burung pemakan serangga lainnya. Tersedia juga TWISTER SEAWEED, ANTI STRES, MASTER, serta TWISTER TROTOLAN untuk meloloh pemakan serangga dan TWISTER BUBUR untuk meloloh pemakan bijian.

 

Alasan ini yang membuat juri juga berusaha ikut membantu panitia, mencari penumpang atau massa buat ikut lomba di tempat dia bertugas. “Mungkin berangkat pulang bisa numpang, terus kalau berhasil ngawal jadi juara juga ada fee tersendiri yang seringkali jauh lebih besar dari bayaran resmi panitia.”

Sebenarnya, diakui oleh si nara sumber, masih ada lah beberapa kali ketemu juri yang berusaha kekeh menilai apa adanya, idealis, membingkai diri sebagai juri yang tampak alim dan fair play. “Ditarik artu dipengaruhi untuk memilih burung tertentu tampak tidak mau, kekeh pada pilihannya sendiri. Tapi pada akhirnya pilihannya masih sering keliru, bukan karena mengatrol yang juara, tapi karena pemahaman pada burung memang masih minim. Biasa terjadi pada juri muda yang jam terbang masih terbatas.”

Sementara, dia dan rekan-rekan senior yang secara pengetahuan sebenarnya sudah masuk sangat tinggi, tetap saja juga sering berbuat salah. “Bedanya, kesalahan kami yang senior memang karena sudah diatur, sengaja salah, ada “ganti”-nya. Sekali lagi, saya bukan bermaksud menunjuk-nunjuk teman yang lain, lebih ke pengakuan saya pribadi yang tentu saja bisa berjalan karena dilakukan berjamaah bersama rekan lainnya, bahkan sering juga melibatkan di luar team juri tapi punya kewenangan dalam mengatur penugasan.”

Apa yang diceritakan salah satu juri di atas, sebenarnya bukan hal baru. Sudah terlalu sering bahkan, kita dengar. Bisakah model-model yang sudah dilakukan secara sistemik, berjamaah, terstruktur an rapi seperti ini, dihentikan atau setidaknya dikurangi sebanyak mungkin?

 

GANTANGAN MASTERPIECE, JARAK PESERTA DEKAT, DILENGKAPI CCTV

 

Sejumlah EO, komunitas, gantangan, atau organisasi, mencoba membuat gebrakan. Salah satu yang paling memberikan inspirasi adalah SMM yang sudah sukses menggelar lomba hampir dua tahun ini.

Banyak yang kemudian berusaha mengadopsi baik hampir secara keseluruhan atau sebagian sistem penjurian dan tatib lombanya, seperti Gantangan The Sultan di Malang, KMM, Masterpiece Arena, dan belakangan muncul lagi PMM di Jabodetabek, AMM di Bali, hingga Solo Fair Factor di blok tengah, untuk menyebut beberapa yang kerap jadi bahan obrolan kicaumania.

Dari sisi penataan gantangan, Masterpiece mengatur sedemikian rupa sehingga jarak tempat duduk peserta dan burung begitu dekat. Gantangan dibuat laksana panggung, sehingga posisinya lebih tinggi ketimbang tempat duduk peserta. Seperti halnya The Sultan, Masterpiece juga menambahkan fasilitas CCTV.

Apa yang sudah dilakukan di Solo Fair Factor (SFF) terlihat sangat berani dalam menerapkan konsep “keterbukaan”. Bila yang lain mencari nominiasi dari nilai mentok juri, di SFF juri langsung menuliskan ajuan koncer. Itulah yang kemudian ditancap, tidak boleh ganti.

Itok, salah satu penggagas SFF, mengaku mendapatkan banyak sekali tanggapan, baik langsung maupun tidak langsung seperti lewat media sosial, setelah gelaran usai. “Banyak yang memuji dan memberikan apresiasi, tapi juga banyak masukan dan kritik. Kita berterimakasih atas apresiasi juga masukan dan kritik. Sudah dievaluasi, sudah ada semacam temuan sistem untuk menambal dan menutup lubang-lubang kerawanan yang kemarin masih terjadi.”

 

SISTEM SFF AKAN TERUS DISEMPURNAKAN, AJUAN KONCER DIREKAP DULU, AJUAN SENDIRIAN TERBUANG

 

Perbaikan secara garis besar, juri tetap akan menuliskan ajuan, tapi tiga, katakan ajuan koncer A, B, can C. “Bila kemarin langsung tancap, besuk ajuan koncer itu kita filter dengan direkap terlebih dahulu, semuanya secara terbuka.”

Ajuan yang hanya 1 atau tidak ada lainnya, akan hilang. Ajuan 3 dan 4 masuk nominasi, berhak dapat koncer A atau B. Selama ajuan koncer bisa masuk nominasi atau setidaknhya diajukan oleh 3 juri, juri tersebut harus menancapkan koncer sesuai yang sudah ditulis.

“Garis besar seperti itu, ini akan kita simulasikan dulu, dan akan diterapkan di Wawan BRI Cup 2 di Magetan, 22 Mei besuk.”

Sistem penjurian yang tanpa korlap ini (mengikuti di SMM), juga akan didukung dengan penataan gantangan yang mengijinkan peserta mendekat, disediakan kursi. Nomor gantangan akan diundi langsung menjelang digantang.

Di depan kursi juga akan diberi papan bertuliskan nomor gantangan, peserta harus duduk sesuai nomor gantangan burung. Bila ada yang melanggar tatib, panitia lebih mudah dalam mengawasi dan memberikan sanksi.

 

 

Di tempat lainnya, Totok Rebin dari Bali disebutkan sudah sukses beberapa kali menerapkan model peserta mendekat ke burung. Bahkan lebih ekstrim, sebab di sana tanpa pagar. “Besuk kita punya rencana akan menggabungkan konsep penjurian di Solo Fair Factor yang sudah disempurnakan, dipadukan dengan gantangan tanpa pagar dan mengijinkan peserta mendekat burung.”

Seberapa dekatnya, sampai pada titik tidak mengganggu penjurian, tapi cukup jelas memantau dan mendengarkan suara burung. “Kita pernah bikin yang jaraknya hanya satu meter, dan sukses. Agenda berikutnya Bali Fair Factor, rencana kita gelar pertengahan Agustus, tunggu saja informasi selengkapnya,” ujar Totok.

Model mendekatkan peserta dan gantangan atau burung, juga sudah mulai diterapkan RGN di gelaran Road to Piala Pasundan V, Salatiga (17/4). Peserta diijinkan masuk pagar, mendekat ke burung, kondisi peserta ramai atau gantangan penuh, dan ketertiban tetap bisa dijaga.

“Besuk 8 Mei kita terapkan lagi di Magelang Vaganza, kali ini bahkan tanpa pagar. Bila berhasil tentu akan terus kita lanjutkan dengan perbaikan di sana-sini, termasuk nanti pada waktunya juga mulai membenahi lagi sistem penjuriannya,” tandas Asep DM, sang Sekjen.

 

ROAD TO PIALA PASUNDAN RGN SALATIGA, PESERTA BOLEH MENDEKAT GANTANGAN

 

Beragam gebrakan dan inovasi, yang harus diakui dimulai dan terinspirasi dari gelaran SMM yang kini menjadi salah satu idola murai batu mania, diperkirakan akan bisa mengeliminasi pelan-pelan lomba-lomba yang tidak atau belum mau berubah ke arah yang lebih baik.

“Sistem yang kita buat dan akan terus disempurnakan, bisa mengeliminiasi juri baik secara berjamaah maupun perorangan, yang masih “berjiwa” mengatur-atur juara. Teman-teman kicaumania yang benar-benar ingin menguji burung lawan burung, tak perlu galau mencari tahu siapa-siapa yang akan jadi jurinya, tak perlu ribet menghubungi juri atau Korlap sebelumnya, tak perlu mengeluarkan biasa ekstra untuk entertain dan kasih odengan, silakan dibuktikan lagi di Wawan BRI Cup 2 pada 22 Mei besuk.”

Bagaimana sistem ini diterapkan, nantinya akan kembali dicermati, sembari tetap mengumpulkan masukan dan kritik. Berbagai kelemahan yang mungkin masih ada, akan dibenahi lagi, sebelum dilanjutkan ke event Hitam Putih pada 5 Juni di Balekambang Solo.

Puncaknya, kata Itok, ke Bali Fair Factor. “Kita lihat bersama, kalau di event Wawan BRI masih ketemu lagi celah kerawanan, baik hasil pantauan kita sendiri ditambah masukan dan kritik dari peserta, akan kita perbaiki lagi biar di Hitam Putih, dan akhirnya di gelaran lain seperti Bali Fair Factor, semakin sulit menemukan lubang untuk bermain curang,” tandas Itok.

Pada akhirnya, Itok dan kawan-kawan ingin membuka akses seluas-luasnya untuk media, mulai dari Wawan BRI CUP 2, Hitam Putih Solo, Bali Fair Factor, dan event terkait SFF lainnya. "Makin banyak media, makin banyak corong kamera mengarah ke gantangan, kita berharap team juri juga merasa diawasi sehingga makin hati-hati, fokus, tidak main-main, tidak ngawur." [maltimbus]

 

BROSUR DAN JADWAL PIALA DANJEN KOPASSUS, KLIK DI SINI

BROSUR DAN JADWAL WAWAN BRI CUP 2, KLIK DI SINI

BROSUR DAN JADWAL PIALA BUPATI JEPARA, KLIK DI SINI

BROSUR DAN JADWAL PIALA PAKUALAM, KLIK DI SINI

BROSUR DAN AGENDA LOMBA LAINNYA, KLIK DI SINI

 

Gubernur Jabar Cup, 12 Juni 2022. Event yang bakal meledak, jangan sampai Anda tidak menjadi saksi sejarah besar ini. KLIK DI SINI selengkapnya. 

KATA KUNCI: juri lomba burung juri jujur juri fairplay salam tempel solo fair factor wawan bri cup 2 bali fair factor

MINGGU INI

AGENDA TERDEKAT

Developed by JogjaCamp