PENILAIAN LOVE BIRD DI BnR TIDAK LAGI MENGHITUNG, KEMBALI KE SISTEM LAMA

BANDUNG LAUTAN API CUP IV, #15

Sudah Tidak Menghitung Lagi, Penilaian Lovebird di BnR Kembali ke Sistem Lama

Ada yang berbeda dengan penilaian lovebird di Bandung Lautan Api Cup IV (BLA), Minggu 25 Oktober 2020 di lapang Pusdikajen Lembang. Para juri BnR tidak lagi hanya berdiri di satu titik sambil menghitung durasi burung yang bunyi. 

Bila peserta penuh atau mendekati penuh (72 gantangan), aka nada 8 orang juri berada di lapangan, sambil memegang papan rekap dan bolpoin. Artinya, lapangan akan dibagi 8 blok, dan dalam satu blok yang dipantau seorang juri, ada 9 burung. Korlap atau timer akan memberi aba-aba juri untuk bergeser atau rotasi setiap 1,5 menit.

Sebelumnya, satu orang juri hanya berdiri di salah satu titik atau blok saja, lalu bila ada burung yang bunyi dihitung durasinya. Seberapa panjang durasi, akan ditandai dengan kartu yang sudah diberi warna tertentu, lalu dimasukkan dalam kotak/gelas yang sudah tersedia. Setelah penilaian berakhir, jumlah kartu yang menunjukkan bobot nilai tertentu dihitung atau atau ditotal. Siapa yang jumlah poinnya paling banyak, itulah yang juara.

 

 

Apapun problem "bunyi" pada burung Anda, dari mulai MACET sampai hanya mau tampil angot-angotan, berikan MONCER-1, tunggu beberapa hari, langsung JOSS.

 

Di BLA, hal itu sudah tidak terlihat lagi. Para juri tampak hanya menandai atau menuliskan sesuatu ke dalam kertas rekap. Setelah waktu dinyatakan habis, mereka akan menyampaikan ajuan. Perumus kemudian memproses ajuan hingga ditetapkan burung-burung yang masuk nominasi. Nah, juara ditentukan berdasarkan bendera koncer yang ditancapkan oleh juri. Peraih bendera merah atau A terbanyak, atau kombinasi dengan bendera B-nya, itulah yang juara.

Secara konsep, penilaian lovebird kembali dilakukan seperti halnya saat juri menilai jenis ocehan yang lain. “Kami memilih kembali ke model yang bisa menemukan burung yang kualitas. Burung yang juara semestinya memang burung yang tidak asal bunyi, tapi juga menunjukkan kualitas terbaiknya di antara yang lain saat penilaian berlangsung, bukan di saat yang lain,” jelas Bang Boy saat ditanyakan alasan kembali ke sistem lama.

Dengan kembali ke sistem lama, para juri punya kesempatan untuk membandingkan satu burung burung dengan lain, merata ke semua blok. Mana yang durasinya menonjol panjangnya, mana yang variasi atau ritme lagunya paling oke, mana yang volumenya terdengar jelas bahkan yang paling tembus di antara yang lain, sesuai kategori-kategori dalam menilai burung berkicau.

“Setelah kita kaji cukup lama, konsep penilaian dengan cara menghitung kurang mengenai sasaran, dari sudut pandang kita yang memantau keliling dan membandingkan satu sama lain, juaranya seringkali bukan burung yang secara umum paling baik kualitasnya.”

Awalnya, konsep menilai lovebird dengan cara menghitung, dilatarbelakangi pemikiran bila lovebird yang terbaik dan layak juara adalah yang (total) bunyinya paling panjang di antara yang lain. Faktor atau kategori penilaian lain yang berlaku pada burung berkicau seperti volume, irama lagu, juga gaya, diabaikan. Konsep ini kemudian banyak diadaptasi oleh banyak EO dengan segala variasi modifikasinya, termasuk oleh BnR.

“Kami pengin kembali ke seperti dulu, burung yang juara, termasuk lovebird, ya yang saat penilaian bisa menunjukkan kombinasi perfoma dan kualitas yang terbaik. Itu semua tidak bisa ketemu kalau dilakukan dengan cara menghitung. Bahkan seandainya disertai dengan rotasi sekalipun. Kita tahu dan dengar banyak kritik soal metode penilaian dengan menghitung itu, ada banyak titik lemah. Itu kita serap. Kami di BnR tidak tutup mata dan tutup telinga kok.”

 

Yang di desa, di kota. Yang ikut lomba atau sekadar didengar suaranya di rumah. Dari generasi ke generasi sudah memakai TOPSONG.

 

Metode penghitungan, memang banyak dikritik. Pertama, karena cara menghitung oleh juri, yang menggunakan “ketukan” mulut, tidak sama antara satu orang dengan yang lain. Para lovebird mania kemudian menjuluki ada juri yang pelit, karena ritme menghitungnya terlalu lambat, ada juri yang murah hati, karena ritme menghitungnya lebih cepat. Bila ada burung yang punya kinerja relatif sama, pada juri yang pelit akan punya total poin lebih sedikit dari pada yang dinilai oleh juri yang murah. Selisihnya bahkan bisa terpaut jauh.

Ke dua, dalam prakteknya, pemahaman satu juri dengan yang lain dalam menerapkan pakem penilaian lovebird di satu EO masih belum bisa sama, atau setidaknya mendekati sama. Misalnya, kapan sudah disebut bunyi ngekek dan mulai dihitung, kapan dianggap berhenti sehingga penilaian harus diputus atau dihentikan. Belum lagi beda tafsir dengan si pemilik burung. Perbedaan pemahaman ini juga membuat total poin bisa terpaut cukup jauh, meski dilihat secara sepintas, burung-burung itu seperti berimbang.

Ke tiga, pengabaian kategori penilaian seperti volume, irama / ritme lagu, dan gaya. Burung yang bunyinya lemah dan nyaris tak terdengar, diberi bobot yang sama dengan burung yang volumenya tembus hingga ke luar pagar. Burung yang durasinya pendek-pendek, katakanlah rata-rata 10 detik tapi sangat rajin dengan jeda rapat, bisa mengalahkan burung yang durasinya lebih panjang. Pengertian panjang, katakanlah atnarar 30 - 45 detik up, bahkan yang lebih istimewa sekali pun seperti antara 60-120 detik, tetap bisa kalah total poinnya dengan hanya hanya rata-rata 10 detik tapi lebih rajin.

 

FERRY YONG BERSAMA OPIUM, IKONNYA KURNIA BF

 

Banyak lovebird mania yang kemudian kerap mengkritik dengan suara yang keras pada sistem penilaian model menghitung. Salah satu yang cukup cerewet adalan Ferry Yong, pengorbit dan breeder lovebird dari Kurnia BF Banjarnegara yang cukup tenar dan disegani di tanah air. Dalam berbagai kesempatan, ia kerap teriak lantang melalui akun face booknya.

“Burung lovebird yang hanya bunyi ‘iwik-iwik’, kok bisa juara. Jadi bingung,” begitu ia sering menuliskan status tiap kali habis pulang dari gantangan.

Kritik yang disampaikan oleh Ferry Yong memang tidak sepenuhnya keliru. Banyak juri yang menghitung hanya berdasarkan penglihatan saja, bila paruh membuka, atau ekor bergerak-gerak, maka dianggap bunyi. Telinga atau kuping, diabaikan atau tidak dipakai.

Si juri merasa tidak perlu menyimak untuk mendengar, apakah suaranya kedengaran apa tidak. Mungkin si juri berpikir, hanya menghitung dengan mengabaikan volume saja sudah pusing, apalagi kalau ditambah dengan harus mempertimbangkan volume segala, bisa makin kehilangan fokus.

“Setelah cukup lama mengikuti dan mengamati lomba love bird dengan metode menghitung, saya berkesimpulan konsepnya seharusnya dikembalikan sama dengan menilai burung berkicau lainnya. Saya menyebutnya sebagai sistem rekap. Ini kan katanya soal seni, ya tidak bisa dinilai dengan metoda ilmu pasti matematika, dengan berhitung. Bahkan seandainya para juri sudah bekerja dengan hati nurani, terus hitungan ketukan mulutnya satu dengan yang lain sudah mendekati sama.”

 

Hari gini belum pakai TWISTER? Segera merapat di kios-kios / agen terdekat, bila belum ada mintalah untuk menyediakan, biar Anda dan para kicau mania lainnya lebih mudah mendapatkannya. Coba dan buktikan kualitasnya, dan berikan respon melalui hotline 08112663908.

 

Padahal, lanjut Ferry Yong, dalam praktiknya tidak seperti itu. “Kita tentu sudah sering dengar, merata di hampir semua EO, ada juri yang  disebut tukang gas. Begitu semangatnya, sampai lupa nginjak rem hingga total poinnya bisa kebablasan, lebih tinggi dari poin burung yang diandaikan selama penialaian bunyi ngekek terus tanpa berhenti sekali pun. Sampai sekarang, saya masih sering dengar kasus-kasus seperti ini.”

Meski tidak persis sama, Priyo Gendub, pengorbit yang belakangan tenar karena kerap “mencetak” konslet berkualitas (tidak hanya rajin bunyi saja, tapi juga berdurasi panjang dan volume jelas terdengar) juga sepakat dengan apa yang disampaikan oleh Ferry Yong, soal bagaimana agar burung berkualitas itu jangan sampai kalah dengan burung-burung yang asal buka mulut tapi nyaris tanpa suara.

“Kalau saya pribadi, apa pun konsep atau sistem penilaiannya, sebenarnya tidak masalah. Yang penting, bagaimana agar kualitas burung yang gampangnya ditandai dengan volume dan durasi, diberikan bobot lebih. Lalu, juri menilai dengan jujur, ini juga tak kalah penting. Jangan sampai burung-burung kualitas seperti itu tersisih oleh burung yang hanya buka paruh atau mangap-mangap, atau ekornya tampak bergerak-gerak sebagai tanda sedang bunyi, tapi kalau dicermati betul suaranya lemah sekali, nyaris tak terdengar meski dari titik terdekat.”

Gendub mengaku sering sedih, harus mengelus dada, ketika melihat burung yang disebut Ferry sebagai “hanya iwik-iwik” masih tetap dihitung poinnya dan kemudian juara.

Baik Ferry Yong maupun Gendub, tentu menyambut baik dengan come back-nya BnR ke sistem lama atau apa yang oleh Ferry Yong disebut sebagai sistem rekap.

 

MR ONE-D (dok. mediaronggolawe)

 

Mr. One D, salah satu tokoh kicaumania di Bandung, juga menyambut baik kembalinya BnR ke sistem penilaian lama. “Ya baik itu, lebih ideal menrut saya. Bagi saya, sistem menghitung itu betul-betul tidak mendidik, bahkan pembodohan.”

Mr. One D mengaku semakin bingung dan bertambah pusing lagi setelah kemudian banyak aturan turunan, misalnya pembatasan poin. Menurutnya, Ini sungguh aneh dan tidak masuk akal.

“Kita sebagai pemilik burung bagaimana cara bikin burung itu mau rajin bunyi dengan durasi yang panjang-panjang serta didukung volume dan gaya kok, eh malah kalah karena “terlalu” bagus. Anehnya lagi, ada juga yang seakan bisa nyetel burung sesuai pembatasan yang berlaku. Burung yang sama bisa tetap juara di berbagai jenjang pembatasaan hingga kategori loss poin. Entahlah, apa burungnya memang hebat, atau jurinya yang istimewa. Karena alasan itu, sudah lama saya memilih undur diri dari lovebird. Mungkin kalau situasinya bisa membaik, akan berpikir ulang untuk come back ke lovebird.”

Sistem menghitung, lanjut One D, mungkin baik buat EO secara bisnis, karena memang terbukti banyak yang suka. Banyak EO yang kemudian mengikutinya. “Tapi tidak kalau kita ngomong secara edukasi, saya kira lovebird mania sejati tetap memburu yang kualitas. Sering juara tapi kalau burungnya hanya asbun, asal bunyi, ya malu seharusnya.”

 

 

Maraknya aturan pembatasan poin, juga kerap disindir oleh H. Sigit WMP, pemilik lovebird legendaris Kusumo. “Lucu, sekarang banyak burung kalah bukan karena jelek, tapi karena terlalu bagus. Banyak yang aneh memang di negeri kita.”

H. Sigit mengaku paham, aturan itu sebenarnya berangkat dari cara halus melarang burung-burung bagus supaya tidak turun. “Sebagai bahan jualan, produk ini cukup laku juga ternyata. Kenapa, karena banyak lovebird mania yang ketika lomba tidak lagi mencari kebanggaan, tapi asal bisa juara. Tidak peduli apakah juara melawan burung-burung bagus, atau lawan burung-burung asbun. Kalau di lomba tersebut ada musuh yang lebih bagus, ia akan memilih kabur pindah ke gantangan lain yang peluang juaranya lebih besar. Tentu itu hak setiap orang, kita tak bisa menyalahkannya. Ini hanya soal pilihan saja.”

Sementara itu, Bang Boy juga mengaku memantau respon dari para peserta BLA.  Kesimpulannya, secara umum tanggapan dari para lovebird mania cukup baik. Banyak yang mengacungi jempol, memberikan apresiasi, dan memberikan dukungan atas kembalinya ke sistem lama.

“Banyak yang kaget memang, protes atas hasil juga masih ada. Itu tidak kita pungkiri. Kalau kita mau fair, komplain , atau protes, atau pertanyaan terkait hasil kerja juri, termasuk yang dilakukan dengan keras,  itu kan tidak hanya terjadi pada lovebird, pada jenis yang lain pun kerap muncul. Maksudnya, aku melihat pertanyaan atau komplain yang muncul dari para peserta lovebird di BLA ini, masih dalam batas wajar.”

 

PHOENIX Makanan Love Bird Multivitamin. Berikan yang terbaik untuk love bird kesayangan Anda, menjadik burung selalu sehat dan rajin bunyi. Mudah diperoleh di kios-kios terdekat.

 

Apalagi, lanjut Bang Boy, banyak lovebird mania jaman now yang memang seakan tidak mengenal sistem penilaian model lama. “Jadi wajarlah, kalau awalnya mereka juga bingung. Mesti sudah kita sosialisasikan, kita jelaskan ketika akan mulai menilai. Tetapi dengan proses berjalannya waktu, aku optimis model lama ini akan kembali digemari para lovebird mania, dan harapannya kelas lovebird bisa kembali marak lagi. Harga lovebird secara umum bisa terdongkrak lagi. Ekonomi masyarakat kembali terangkat. Hal terakhir ini kan sesungguhnya yang ingin aku capai bersama BnR.”

Secara konsep, apa yang sekarang sedang diterapkan kembali oleh BnR memang mirip-mirip dengan sistem yang selama ini masih konsisten diberlakukan di PBI. “Dengan segala hormat, kalau mau banding-banding, apa yang sekarang kita terapkan kembali memang nyaris serupa dengan sistem yang masih tetap berlaku di saudara kita PBI. Bedanya, karena di BnR masih tetap kekeh menggunakan nominasi terbuka. Sistem nominasi terbuka ini juga sering dikritik karena dianggap waktu penilaiannya terlalu lama. Yah, di dunia ini memang tidak ada yang sempurna, masing-masing punya keunggulan dan kelemahannya.”

Sebagai salah satu EO yang terbesar di tanah air, BnR harus diakui memiliki pengaruh yang cukup luas dan besar. Apa yang dilakukan dan diterapkan oleh BnR, sering kemudian diikuti oleh EO lainnya. Misalnya konsep nominasi terbuka, kemudian BnR line. Bukan tidak mungkin setelah BnR memilih kembali ke sistem lama dalam menilai lovebird, EO lain pun bakal mengikutinya.  

Apakah model penilaian lovebird yang diterapkan di BLA akan langsung berlaku di semua jenjang event BnR di seluruh tanah air? “Untuk peresmiannya besuk 15 November bersamaan dengan event BnR Satoe Cup di Cibubur. Setelah itu, sistem ini akan diberlakukan di semua penjurian BnR, dari level Latber, Latpres, Regional, hingga event-event akbar skala nasional.” [maltimbus]

 

KATA KUNCI: bansistem penilaian love bird ferry yong kurnia bf priyo gendub rhn mr one-d mados

MINGGU INI

AGENDA TERDEKAT

Developed by JogjaCamp